Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra
![]() |
Sumber: http://cdn-media.viva.id |
DeI
sendiri menurut pengertian umum adalah politik memecah belah dan menguasai.
Strategi ini dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran
Romawi. Caranya adalah menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga lebih
mudah untuk dikuasai.
DeI
pertamakali diperkenalkan di nusantara oleh Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), yakni gabungan beberapa kongsi dagang di milik Belanda Hindia
Timur. Karena berbentuk persekutuan, ia dimiliki oleh tujuh belas orang pemilik
modal (de heeren seventien). Jika
dibandingkan dengan saat ini, kira-kira struktur organisasi VOC hampir sama
korporasi besar seperti; Unilever, Coca-Cola, Mc. Moran Inc., Astra Group, MNC
Group, Bakrie Group, dan lain sebagainya.
Orientasi VOC adalah mencari
keuntungan sebesar-besarnya, dengan menaklukkan raja-raja di nusantara serta memonopoli
perdagangan rempah-rempah di Asia. Untuk tujuan itu, mereka dibekali armada
laut yang kuat dan diberi wewenang membentuk wilayah koloni di bawah yurisdiksi
pemerintah Belanda.
VOC mengatur berbagai sektor di
wilayah koloni, mulai dari pertanian, perkebunan, transportasi, persewaan, distribusi,
logistik dan sebagainya. VOC memperkerjakan sarjana-sarjana dari berbagai disiplin
ilmu mulai dari ekonomi, teknik, linguistik, hingga antropologi. Dengan sumber
daya manusia yang terdidik secara scientific
seperti itu, tidak heran banyak entitas politik tradisional yang terpedaya
dibuatnya.
Efektivitas strategi DeI di nusantara mendapat perhatian khusus
bagi pemerintah Kerajaan Belanda. Strategi tersebut kemudian diteruskan karena
terbukti relevan untuk mencapai tujuan mereka.
Berbagai bukti sejarah mencatat success story penerapan berbagai pola strategi
DeI di wilayah nusantara, seperti
Maluku, Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Jawa, dan wilayah lainnya. Sebagian
besar pola tersamar dalam kisah sejarah, sehingga tidak banyak yang
menyadarinya. Berikut akan dijelaskan sekilas beberapa polanya.
Pendekatan awal biasanya dimulai
dengan make friends and create common
enemy. Jika diartikan, menjadi teman dan menciptakan musuh bersama. Make friends terjadi karena seseorang
memiliki kesamaan atau identik dengan orang lain. Misalnya kesamaan ras,
kesamaan etnis, kesamaan pemikiran, kesamaan visi, kesamaan ideologi, atau
kesamaan agama.
Jika tidak ditemui kesamaaan, maka
harus dibuat sama terlebih dahulu. Bila perlu dengan cara paksa. Prinsipnya jika
sudah ada kesamaan, maka negosiasi dan diplomasi dapat berjalan dengan lebih
mudah. Common enemy yang dimaksud dalam
hal ini adalah pihak lain yang menjadi saingan bisnis VOC. Mereka berasal dari
Timur Tengah, Asia, dan Persekutuan Dagang Inggris East India Company.
Kedua, manajemen isu. Pola ini dilakukan
dengan menebarkan selentingan kabar dan desas-desus baik di lingkungan politik
lokal maupun di lingkungan sosial yang lebih luas. Manajemen isu dapat
berbentuk lisan dan tertulis, bersifat formal atau informal.
Bentuk lain dari manajemen isu adalah
propaganda, yakni dengan memanfaatkan
media massa dan laporan jurnalistik. Laporan
jurnalistik telah beredar di Batavia sejak 1676 dengan nama Kort Bericht Europe, serta Bataviase Nouvelles tahun 1744 yang
memuat informasi dari berbagai negara di Eropa untuk pejabat VOC yang bertugas
di Hindia Belanda.
Pemanfaatan media massa tetap
dilanjutkan oleh pemerintah kolonial, meski VOC telah dibubarkan tahun 1799.
Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Bataviasche
Koloniale Courant tahun 1810, surat kabar yang memuat informasi di seluruh
wilayah Hindia Belanda.
Berita disajikan secara subjektif. informasi
dan isu dikelola untuk kepentingan pemerintah kolonial, seperti memotivasi para
pejabat yang kehilangan semangat kerja atau menciptakan sensitifitas antaretnis
jika dibaca oleh kaum pribumi yang memahami bahasa Belanda.
Sejak tahun 1855, di tiap daerah sebenarnya
sudah banyak terbit surat kabar berbahasa melayu seperti Slompret Melajo dan lain-lain. Keberadaan surat kabar tersebut
tidak berlangsung lama. Badan sensor pemerintah Hindia Belanda menyunting
secara ketat dan melarang penerbitannya karena menganggap informasi yang
disajikan dapat mengganggu aktivitas mereka di wilayah koloni.
Ketiga, Belanda bermain di dua sisi (win-win solution). Di sini, Belanda
berpihak kepada dua kubu yang saling bertentangan seolah ia berada pada posisi
yang netral. Lazimnya digunakan terhadap suatu entitas politik yang sedang
mengalami konflik internal dalam memperebutkan kekuasaan. Pihak manapun yang akan
menjadi pemenang, tetap saja Belanda yang diuntungkan. Pola ini terlihat diterapkan
berkali-kali pada upaya penaklukan Aceh.
Keempat, Merekrut pemimpin lokal sebagai
bagian dari rantai manajemen terbawah di luar struktur perusahaan. Trik ini
dilakukan dengan memberikan pengakuan secara resmi dan tertulis, yang
mengatasnamakan kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah
seperti yang terjadi di Yogyakarta pada perang Diponegoro dan Kesultanan Melayu
di Sumatera Timur.
Alih-alih menjalin persahabatan, wilayah
itu malah dijadikan bagian dari koloni. Pemimpin lokal yang bekerjasama biasanya
akan dihadiahi istana yang megah dan harta yang jumlahnya relatif besar. Jumlah
yang sangat sulit untuk ditolak. Tentu saja imbalannya adalah kesepakatan yang
menguntungkan Belanda.
Hingga kini pola tersebut masih
dipakai dalam korporasi modern untuk menjalin kerjasama dengan mitra usaha atau
pihak lain. Pola ini populer dengan istilah entertain.
Entertain adalah bagian dari taktik Marketing untuk memuluskan kesepakatan
bisnis. Korporasi besar biasanya telah menyediakan anggaran untuk ini. Entertain dalam budaya korporasi modern
tidak melulu dalam bentuk harta benda atau uang. Entertain dapat berbentuk paket wisata, paket umroh, voucher, business diner, black bonus dan
berbagai bentuk hiburan-hiburan lainnya.
Kelima, pengepungan dan Embargo. Pola ini membuat suatu wilayah
menjadi terisolir. Mulai dari menutup akses komunikasi dan perdagangan hingga
blokade militer yang ekstrim dengan membangun benteng dan fasilitas pertahanan
lainnya.
Kerajaan-kerajaan maritim di
nusantara telah memiliki hubungan kerjasama internasional yang baik dengan
kerajaan lain di bidang perdagangan. Karena kedekatannya, sering terjadi
pernikahan antarkerajaan. Hubungan ini menciptakan jaringan sosial yang kuat. Jaringan
sosial ini harus diputus terlebih dahulu untuk mengantisipasi ancaman yang
kelak akan timbul. Prinsipnya, kerajaan yang terisolir menjadi lebih mudah
untuk dikuasai. Pola ini terlihat hampir di seluruh wilayah nusantara, mulai
dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Yogyakarta dan lain-lain.
Keenam, mengatur terjadinya Perang Saudara,
yakni menggunakan pribumi sebagai kekuatan militan untuk melawan bangsanya
sendiri. Pola ini terlihat di Sumatera Barat tahun 1821-1837. Belanda berhasil
memprovokasi Kaum Adat untuk berperang melawan Kaum Paderi.
Ketujuh, Excessive force dan extreme
prejudice. Jika pendekatan secara halus tidak berhasil, maka alternatif
terakhir adalah dengan cara kekerasan. Cara ini melibatkan hukuman simbolik,
seperti hukuman gantung, penyiksaan bahkan melakukan serangan penuh yang
melibatkan seluruh kekuatan militer.
Hukuman simbolik biasanya ditujukan
kepada tokoh-tokoh yang memberikan perlawanan, namun ada beberapa situasi
dimana rakyat biasa juga menjadi sasaran. Tujuannya adalah untuk memberikan
pernyataan kepada khalayak tentang apa yang akan mereka alami jika tidak
menuruti kemauan Belanda.
Berdasarkan ulasan ini kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa DeI sangat
efektif untuk mencapai sebuah tujuan tanpa menimbulkan perhatian publik yang
lebih luas. Pendekatannya ada yang sangat halus bahkan ekstrim. Mulai dari
bujuk rayu dengan iming-iming manis hingga berdarah-darah.
Sejarah telah menceritakan bahwa sejak
dulu di negeri ini banyak penghianat yang bersedia menjual bangsanya untuk
kepentingan pribadi. Entah karena sakit hati atau karena hanya ingin memperkaya
diri. Mereka inilah yang membuat DeI
sukses di nusantara.
Nah, semoga informasi singkat ini
dapat memberikan kontribusi positif bagi kita. Semoga di masa yang akan datang,
kita mampu untuk berpikir dan bertindak lebih bijaksana sehingga tidak jatuh ke
dalam lubang yang sama untuk yang kesekian kalinya.
Dikutip
dari berbagai sumber
Editor: Rusdi Sufi
(Diterbitkan oleh BPNB Aceh dalam bentuk Leaflet Desember 2014)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteterimakasuh sudah memberikan informasi atau pengetahuan penting iniuntuk saya..
ReplyDeleteSama-sama Pak Asis Armin, jika berminat berikut ini ada tulisan-tulisan singkat yang saya posting di academia..edu
ReplyDeletehttps://ingenst.academia.edu/DharmaPutra, trims