Wednesday, 8 April 2015

Devide et Impera: Mengenal Taktik dan Strategi Orang Belanda



Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra

Sumber: http://cdn-media.viva.id
           Setiap orang Indonesia pernah mendengar Divide et Impera (DeI). DeI diperkenalkan kepada kita sejak duduk di bangku SD hingga ke perguruan tinggi. Tujuannya adalah agar kita belajar dan memahami apa sebenarnya DeI, sehingga kita dapat melakukan tindakan pencegahan agar DeI tidak digunakan lagi oleh siapapun untuk menyengsarakan bangsa Indonesia.
         DeI sendiri menurut pengertian umum adalah politik memecah belah dan menguasai. Strategi ini dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran Romawi. Caranya adalah menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga lebih mudah untuk dikuasai.
            DeI pertamakali diperkenalkan di nusantara oleh Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), yakni gabungan beberapa kongsi dagang di milik Belanda Hindia Timur. Karena berbentuk persekutuan, ia dimiliki oleh tujuh belas orang pemilik modal (de heeren seventien). Jika dibandingkan dengan saat ini, kira-kira struktur organisasi VOC hampir sama korporasi besar seperti; Unilever, Coca-Cola, Mc. Moran Inc., Astra Group, MNC Group, Bakrie Group, dan lain sebagainya.
Orientasi VOC adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan menaklukkan raja-raja di nusantara serta memonopoli perdagangan rempah-rempah di Asia. Untuk tujuan itu, mereka dibekali armada laut yang kuat dan diberi wewenang membentuk wilayah koloni di bawah yurisdiksi pemerintah Belanda.
VOC mengatur berbagai sektor di wilayah koloni, mulai dari pertanian, perkebunan, transportasi, persewaan, distribusi, logistik dan sebagainya. VOC memperkerjakan sarjana-sarjana dari berbagai disiplin ilmu mulai dari ekonomi, teknik, linguistik, hingga antropologi. Dengan sumber daya manusia yang terdidik secara scientific seperti itu, tidak heran banyak entitas politik tradisional yang terpedaya dibuatnya.
            Efektivitas strategi DeI di nusantara mendapat perhatian khusus bagi pemerintah Kerajaan Belanda. Strategi tersebut kemudian diteruskan karena terbukti relevan untuk mencapai tujuan mereka. 
Berbagai bukti sejarah mencatat success story penerapan berbagai pola strategi DeI di wilayah nusantara, seperti Maluku, Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Jawa, dan wilayah lainnya. Sebagian besar pola tersamar dalam kisah sejarah, sehingga tidak banyak yang menyadarinya. Berikut akan dijelaskan sekilas beberapa polanya.
            Pendekatan awal biasanya dimulai dengan make friends and create common enemy. Jika diartikan, menjadi teman dan menciptakan musuh bersama. Make friends terjadi karena seseorang memiliki kesamaan atau identik dengan orang lain. Misalnya kesamaan ras, kesamaan etnis, kesamaan pemikiran, kesamaan visi, kesamaan ideologi, atau kesamaan agama.
Jika tidak ditemui kesamaaan, maka harus dibuat sama terlebih dahulu. Bila perlu dengan cara paksa. Prinsipnya jika sudah ada kesamaan, maka negosiasi dan diplomasi dapat berjalan dengan lebih mudah. Common enemy yang dimaksud dalam hal ini adalah pihak lain yang menjadi saingan bisnis VOC. Mereka berasal dari Timur Tengah, Asia, dan Persekutuan Dagang Inggris East India Company.
Kedua, manajemen isu. Pola ini dilakukan dengan menebarkan selentingan kabar dan desas-desus baik di lingkungan politik lokal maupun di lingkungan sosial yang lebih luas. Manajemen isu dapat berbentuk lisan dan tertulis, bersifat formal atau informal.
Bentuk lain dari manajemen isu adalah propaganda, yakni dengan memanfaatkan media massa dan laporan jurnalistik. Laporan jurnalistik telah beredar di Batavia sejak 1676 dengan nama Kort Bericht Europe, serta Bataviase Nouvelles tahun 1744 yang memuat informasi dari berbagai negara di Eropa untuk pejabat VOC yang bertugas di Hindia Belanda.
Pemanfaatan media massa tetap dilanjutkan oleh pemerintah kolonial, meski VOC telah dibubarkan tahun 1799. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Bataviasche Koloniale Courant tahun 1810, surat kabar yang memuat informasi di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Berita disajikan secara subjektif. informasi dan isu dikelola untuk kepentingan pemerintah kolonial, seperti memotivasi para pejabat yang kehilangan semangat kerja atau menciptakan sensitifitas antaretnis jika dibaca oleh kaum pribumi yang memahami bahasa Belanda.
Sejak tahun 1855, di tiap daerah sebenarnya sudah banyak terbit surat kabar berbahasa melayu seperti Slompret Melajo dan lain-lain. Keberadaan surat kabar tersebut tidak berlangsung lama. Badan sensor pemerintah Hindia Belanda menyunting secara ketat dan melarang penerbitannya karena menganggap informasi yang disajikan dapat mengganggu aktivitas mereka di wilayah koloni.
Ketiga, Belanda bermain di dua sisi (win-win solution). Di sini, Belanda berpihak kepada dua kubu yang saling bertentangan seolah ia berada pada posisi yang netral. Lazimnya digunakan terhadap suatu entitas politik yang sedang mengalami konflik internal dalam memperebutkan kekuasaan. Pihak manapun yang akan menjadi pemenang, tetap saja Belanda yang diuntungkan. Pola ini terlihat diterapkan berkali-kali pada upaya penaklukan Aceh.
Keempat, Merekrut pemimpin lokal sebagai bagian dari rantai manajemen terbawah di luar struktur perusahaan. Trik ini dilakukan dengan memberikan pengakuan secara resmi dan tertulis, yang mengatasnamakan kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah seperti yang terjadi di Yogyakarta pada perang Diponegoro dan Kesultanan Melayu di Sumatera Timur.
Alih-alih menjalin persahabatan, wilayah itu malah dijadikan bagian dari koloni. Pemimpin lokal yang bekerjasama biasanya akan dihadiahi istana yang megah dan harta yang jumlahnya relatif besar. Jumlah yang sangat sulit untuk ditolak. Tentu saja imbalannya adalah kesepakatan yang menguntungkan Belanda.
Hingga kini pola tersebut masih dipakai dalam korporasi modern untuk menjalin kerjasama dengan mitra usaha atau pihak lain. Pola ini populer dengan istilah entertain. Entertain adalah bagian dari taktik Marketing untuk memuluskan kesepakatan bisnis. Korporasi besar biasanya telah menyediakan anggaran untuk ini. Entertain dalam budaya korporasi modern tidak melulu dalam bentuk harta benda atau uang. Entertain dapat berbentuk paket wisata, paket umroh, voucher, business diner, black bonus dan berbagai bentuk hiburan-hiburan lainnya.
Kelima, pengepungan dan Embargo. Pola ini membuat suatu wilayah menjadi terisolir. Mulai dari menutup akses komunikasi dan perdagangan hingga blokade militer yang ekstrim dengan membangun benteng dan fasilitas pertahanan lainnya. 
Kerajaan-kerajaan maritim di nusantara telah memiliki hubungan kerjasama internasional yang baik dengan kerajaan lain di bidang perdagangan. Karena kedekatannya, sering terjadi pernikahan antarkerajaan. Hubungan ini menciptakan jaringan sosial yang kuat. Jaringan sosial ini harus diputus terlebih dahulu untuk mengantisipasi ancaman yang kelak akan timbul. Prinsipnya, kerajaan yang terisolir menjadi lebih mudah untuk dikuasai. Pola ini terlihat hampir di seluruh wilayah nusantara, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Yogyakarta dan lain-lain.
Keenam, mengatur terjadinya Perang Saudara, yakni menggunakan pribumi sebagai kekuatan militan untuk melawan bangsanya sendiri. Pola ini terlihat di Sumatera Barat tahun 1821-1837. Belanda berhasil memprovokasi Kaum Adat untuk berperang melawan Kaum Paderi.
            Ketujuh, Excessive force dan extreme prejudice. Jika pendekatan secara halus tidak berhasil, maka alternatif terakhir adalah dengan cara kekerasan. Cara ini melibatkan hukuman simbolik, seperti hukuman gantung, penyiksaan bahkan melakukan serangan penuh yang melibatkan seluruh kekuatan militer.
            Hukuman simbolik biasanya ditujukan kepada tokoh-tokoh yang memberikan perlawanan, namun ada beberapa situasi dimana rakyat biasa juga menjadi sasaran. Tujuannya adalah untuk memberikan pernyataan kepada khalayak tentang apa yang akan mereka alami jika tidak menuruti kemauan Belanda.
Berdasarkan ulasan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa DeI sangat efektif untuk mencapai sebuah tujuan tanpa menimbulkan perhatian publik yang lebih luas. Pendekatannya ada yang sangat halus bahkan ekstrim. Mulai dari bujuk rayu dengan iming-iming manis hingga berdarah-darah.
Sejarah telah menceritakan bahwa sejak dulu di negeri ini banyak penghianat yang bersedia menjual bangsanya untuk kepentingan pribadi. Entah karena sakit hati atau karena hanya ingin memperkaya diri. Mereka inilah yang membuat DeI sukses di nusantara.
Nah, semoga informasi singkat ini dapat memberikan kontribusi positif bagi kita. Semoga di masa yang akan datang, kita mampu untuk berpikir dan bertindak lebih bijaksana sehingga tidak jatuh ke dalam lubang yang sama untuk yang kesekian kalinya.
Dikutip dari berbagai sumber

Editor: Rusdi Sufi

(Diterbitkan oleh BPNB Aceh dalam bentuk Leaflet Desember 2014)

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. terimakasuh sudah memberikan informasi atau pengetahuan penting iniuntuk saya..

    ReplyDelete
  3. Sama-sama Pak Asis Armin, jika berminat berikut ini ada tulisan-tulisan singkat yang saya posting di academia..edu
    https://ingenst.academia.edu/DharmaPutra, trims

    ReplyDelete

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive