Wednesday, 8 April 2015

Televisi: Culture Killer atau Culture Sustainer

Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra


Sumber: http://www.top10films.co.uk
Pendahuluan
Information is Power!, Perumpamaan ini sangat relevan dengan perkembangan dunia informasi yang terjadi dengan pesat pada tiga dasawarsa terakhir. Orang yang menguasai informasi mampu menguasai dunia dari balik layar. Untuk mencapai itu, setiap orang di seluruh dunia berlomba-lomba untuk memperoleh informasi dengan berbagai tujuan dan kepentingan, baik informasi bisnis, intelijen, sains, sejarah, peristiwa, dan hiburan.
            Perkembangan terhadap media informasi membuat perubahan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Jika dulu teknologi Global Positioning System (GPS) hanya dapat diakses oleh pemerintah dengan alat yang mahal, saat ini GPS dapat diakses oleh ibu rumah tangga melalui televisi yang terkoneksi jaringan internet. Namun meski internet telah menjadi sumber informasi bagi masyarakat dunia, televisi masih menjadi media informasi yang diperhitungkan.
            Menurut salah satu situs internet, televisi merupakan media informasi yang berfungsi sebagai penerima siaran gerak dan suara, baik yang hitam-putih (monochrome) maupun berwarna. Kata Televisi merupakan gabungan dari kata tele (Yunani) yang berarti jauh dan visio (Latin) artinya penglihatan, sehingga televisi dapat diartikan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media visual atau penglihatan[1].
            Di Indonesia televisi digunakan untuk menikmati berbagai sajian acara yang dikemas apik dan terjadwal, mulai dari pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB. Bahkan banyak siaran yang aktif sampai 24 jam. Semakin banyak pemirsa yang menonton suatu program, pemeringkatan (rating[2]) program tersebut akan meningkat. Jika rating program meningkat, para produsen dan pemilik brand tertentu akan tertarik untuk berinvestasi dalam program yang dimaksud. Profit perusahaan televisi akan meningkat seiring dengan bertambahnya iklan.
            Motivasi ini membuat para aktivis di industri televisi membuat program-program hiburan (entertain) yang unik dan berbeda, kreatif, dan menarik yang tidak jarang mengadopsi budaya populer dari luar negeri secara membabi buta. Tujuannya, untuk meningkatkan rating dan menarik produsen serta pemilik brand untuk berinvestasi. Gejala ini diibaratkan sebagai culture killer.
Fokus yang berlebihan terhadap program entertain membuat industri penyiaran melupakan unsur-unsur pendidikan dan budaya, sementara di pihak lain para pemirsa menganggap bahwa program yang sifatnya edukatif dan berwawasan nilai budaya kurang menarik. Dengan demikian, fungsi televise sebagai pelestari budaya (culture sustainer) menjadi terabaikan. Melihat perkembangan industri televisi saat ini menimbulkan satu pertanyaan besar, apakah para pemirsa menyadari bahwa sajian yang mereka nikmati berdampak bagi kelangsungan identitas dan budaya yang ada di daerah mereka?

Sejarah Perkembangan Industri Penyiaran Indonesia
            Program televisi pertamakali disiarkan di Indonesia tanggal 24 Agustus 1962 atas perintah Presiden Soekarno, dengan agenda pertama penayangan pembukaan Asian Games IV di stadion utama Gelora Bung Karno. Pada 1963 tanggung jawab pengelolaan kemudian diserahkan ke Yayasan Televisi Republik Indonesia (TVRI) atas dasar Keppres No. 215/1963. Pada saat itulah, TVRI mulai mengalami perkembangan pesat dan stasiun-stasiun di daerah yang berfungsi sebagai perwakilan dan koresponden juga mulai dibangun[3].
            Pada masa orde baru, TVRI menjadi salah satu bagian dari Departemen Penerangan yang berfungsi sebagai alat komunikasi pemerintah. Tujuannya untuk menyampaikan pada khalayak program pembangunan yang akan, sedang, dan telah dilakukan oleh pemerintah, menyosialisasikan nilai budaya, Pancasila serta nasionalisme guna mempersatukan seluruh rakyat. Misi tersebut masih dijalankan oleh TVRI sebagai satu-satunya Lembaga Penyiaran Publik milik negara, hanya saja TVRI saat ini lebih netral dan tidak memihak suatu rezim.
            Lembaga penyiaran swasta pertama di indonesia adalah RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang mengudara dengan siaran percobaan tanggal 1 Januari 1988. Tujuannya selain untuk mengimbangi TVRI yang saat itu menjadi media penguat hegemoni orde baru, juga sebagai alternatif hiburan yang berasal dari luar negeri. RCTI diresmikan 24 Agustus 1989 sebagai televisi dengan penyiaran terbatas, kemudian pada 24 agustus 1990 RCTI memperoleh izin bersiaran secara bebas[4].
            Tahun 1990-an merupakan angin segar bagi era industri televisi di Indonesia, saat itu mulai bermunculan lembaga-lembaga penyiaran swasta seperti SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), Indosiar (1995). Industri televisi nasional sempat mengalami resesi akibat pengaruh krisis, namun bangkit kembali paska peristiwa reformasi 1998. Terbukti dengan berdirinya stasiun baru seperti Global (1999), Metro TV (2000), Trans TV (2001), Trans 7 (2006), TV One (2008), MNC TV (2010) serta Net TV (2013).
            Kepastian hukum lembaga penyiaran diatur dan dikuatkan melalui UU RI No. 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran, dimana pada pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa penyiaran diselenggarakan oleh Lembaga penyiaran swasta, Lembaga penyiaran publik, Lembaga penyiaran komunitas, dan Lembaga penyiaran berlangganan. Tentunya, dengan tetap mempertimbangkan misi sebagai media komunikasi massa yang berperan dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, memiliki kebebasan dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial[5].
            Untuk memperkuat eksistensinya di industri penyiaran, beberapa stasiun televisi bergabung dalam satu group manajemen yang lebih besar. RCTI, Global, dan MNC TV bernaung di bawah satu atap, yakni MNC Group pimpinan oleh Harry Tanoe. ANTV dan TV One  bernaung di bawah manajemen Bakrie Group. Sementara itu, Trans TV dan Trans 7 dinaungi oleh Trans Corp milik Chairul Tanjung.

Televisi, Sosialisasi Nilai, dan Modernitas
Dalam kajian sosiologi, proses sosialisasi didefinisikan sebagai proses belajar, yaitu suatu proses akomodasi dimana seorang individu bertahan, mengubah impuls dalam dirinya, serta mengambil alih cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi, individu mempelajari kekuasaan, sikap, ide, pola-pola nilai dan tingkah laku dalam entitas sosial. Sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam dirinya[6].
Senada dengan itu, Berger dalam Sunarto menegaskan bahwa dalam proses sosialisasi seseorang mempelajari peranan (role) dalam masyarakat[7]. Peranan tersebut disampaikan melalui agen-agen sosialisasi. Dalam kajian sosiologi terdapat empat agen sosialisasi utama dalam masyarakat, antara lain; keluarga, teman sebaya (peer), Institusi pendidikan, dan media massa.
            Keluarga adalah agen sosialisasi awal dalam proses kehidupan seseorang, dimana ia mempelajari kemampuan dasar seperti peran dasar, gender, bahasa, emosi, dan kasih sayang. Teman sebaya adalah agen sosialisasi lanjutan dimana seseorang mempelajari peran yang lebih luas dan setara, teman sebaya menawarkan proses sosialisasi yang lebih dinamis dibandingkan dengan keluarga. Sementara itu, institusi pendidikan mempersiapkan seseorang untuk peran-peran yang lebih kompleks dalam masyarakat, dasar-dasar edukasi teoritis, membentuk pola pikir, membentuk kedewasaan, dan mempersiapkan seseorang untuk masuk ke dunia publik.
            Media massa merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya cukup besar bagi perkembangan individu. Media massa dalam hal ini terdiri atas media cetak (seperti; koran, majalah, spanduk, baligho) dan media elektronik (internet, video, film, kaset, radio, dan televisi). Menurut Soenarto, melalui program-programnya media massa memiliki frekuensi yang sangat tinggi dalam penyampaian informasi dan nilai. Informasi yang disampaikan dapat membentuk perilaku seseorang menjadi prososial atau antisosial. Penayangan informasi yang terus-menerus menonjolkan kekerasan menjadi pemicu perilaku agresif pada anak. Penayangan informasi yang mengandung seksualitas sering dikaitkan dengan degradasi moral dan peningkatan pelanggaran terhadap kesusilaan, iklan-iklan di media massa berpotensi untuk merubah pola konsumsi atau gaya hidup masyarakat. Selain itu, media massa dalam politik juga digunakan untuk mengukur, membentuk, mempengaruhi ataupun menggiring pandangan dan pendapat umum[8].
Pembahasan mengenai televisi sebagai media sosialisasi telah diulas dari berbagai sudut pandang keilmuan, khususnya di bidang ilmu sosial seperti komunikasi dan sosiologi. Media televisi sendiri dalam eksistensinya memiliki fungsi untuk memberitahukan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence). Jenis program televisi saat ini juga semakin bervariasi dan setiap program yang ditayangkan memiliki dampak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Edwi Arief Sosiawan dalam sebuah situs pendidikan, Jenis-jenis program penyiaran dapat dibagi berdasarkan dua kategori, yakni program hiburan dan program informasi. Bentuk program hiburan terbagi atas empat jenis, diantaranya: Drama, yang terdiri atas sinetron dan film (movies), Permainan, Musik, Pertunjukan (show). Sementara program informasi terbagi atas dua, yakni[9]; Berita keras (hard news), adalah segala bentuk informasi yang urgent dan menarik yang harus segera disiarkan agar dapat diketahui oleh khalayak secepatnya, termasuk di dalamnya: Straight news, Feature, Infotainment; serta Berita lunak (soft news), adalah informasi penting dan menarik yang disampaikan secara mendalam namun tidak harus segera ditayangkan, termasuk di dalamnya: Current affair, Magazine, Dokumenter, dan Talk show.
Dalam industri penyiaran, program yang disajikan biasanya sudah disesuaikan dengan selera pemirsanya. Program tersebut telah melalui proses yang cukup panjang, mulai dari seleksi hingga evaluasi. Sebelum menyiarkan sebuah program, team produksi biasanya mengumpulkan data-data tentang program seperti apa yang digemari oleh masyarakat, baik melalui rating program di televisi lain, trend, maupun survey langsung ke lapangan. Setelah mempelajari data-data yang dikumpulkan, maka program tersebut akan diajukan untuk diproduksi dan kemudian disiarkan kepada khalayak.
Program-program baru biasanya dievaluasi dalam 20 sampai 24 episode. Jika program tersebut memiliki rating tinggi, maka akan tetap dilanjutkan. Sementara jika ratingnya rendah, akan dihentikan dan diganti dengan program lain yang dianggap sesuai dengan selera pemirsa. Jarang ditemui lembaga penyiaran swasta konsisten menyiarkan program yang tidak diminati masyarakat. Selain tidak menarik bagi produsen untuk berinvestasi, juga hanya akan menghabiskan anggaran untuk biaya produksinya.
Dari hasil pengamatan terhadap beberapa lembaga penyiaran swasta, diketahui bahwa unsur modernitas lebih digemari oleh pemirsa dibanding program yang bermuatan wawasan kebudayaan. Modernitas tersebut meliputi trend dalam musik, seremonial, tari, alat-alat teknologi (gadget), gaya hidup, fashion, kendaraan bermotor, dan makanan yang biasanya disisipkan dalam program televisi seperti film dan sinetron. Modernitas menawarkan perubahan dan nilai-nilai baru yang berbeda kepada khalayak. Perbedaan ini yang menimbulkan ketertarikan, terutama pada generasi muda yang cenderung aktif mencari dan menerima perubahan. Akibatnya, program-program dengan aspek modernitas memiliki rating teratas dalam industri penyiaran. Lebih lanjut, Sztompka menjelaskan nilai-nilai modern sebagai berikut:[10]
1.       Individualisme, dimana pemegang peran sentral dalam masyarakat adalah individu bukan komunitas, kelompok, suku, atau bangsa. Individu terbebas dari posisi tergantikan, bebas dari ikatan kelompok, bebas berpindah ke kelompok yang diinginkan, serta bebas menentukan dan bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan tindakannya sendiri.
2.       Diferensiasi, memunculkan sejumlah besar keragaman spesialisasi dan spesifikasi baik dalam dunia kerja, musik, mode, maupun terhadap pola konsumsi.
3.       Rasionalitas.
4.       Ekonomisme, dimana seluruh aspek kehidupan sosial didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi, dan prestasi ekonomi yang diukur dengan uang sebagai alat tukar.
5.       Perkembangan, dimana modernitas cenderung memperluas jangkauan ruang atau proses globalisasi yang meliputi kawasan geografis serta menjangkau bidang kehidupan pribadi seperti; keyakinan dan agama, perilaku seksual, selera konsumsi, pola hiburan, dan sebagainya.

Televisi Sebagai Culture Killer
Di Indonesia televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Di satu rumah bahkan tidak jarang ditemui ada lebih dari satu televisi yang berada di ruang tamu dan kamar tidur. Pemanfaatan televisi juga berbeda berdasarkan penggunanya. Seorang ayah misalnya, menonton televisi untuk melihat acara film, olahraga, dan berita. Ibu dan anak perempuan biasanya menonton sinetron, infotainment atau acara kuliner, sementara anak laki-laki menonton film kartun, musik atau sepak bola. Jumlah waktu yang dihabiskan oleh beberapa orang untuk menonton televisi jauh lebih banyak dibandingkan dengan interaksi yang dilakukan dengan orang lain di luar rumah. Ini menjadikan televisi sebagai agen sosialisasi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Sejauhmana peran televisi menjalankan fungsi-fungsinya dapat kita lihat dari program-program yang ditayangkan. Apakah ia membawa misi pendidikan, melestarikan budaya, atau justru sebaliknya menyajikan hiburan berorientasi nilai modern. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap program di beberapa stasiun televisi swasta, diketahui bahwa jarang sekali ditemui program-program yang sifatnya edukatif dan berwawasan budaya. Jika ada, durasinya terbatas dan frekuensi penyajiannya juga rendah atau jarang disiarkan. Media penyiaran lebih senang menyajikan siaran yang memuat nilai modern.
Sejak 1990-an, budayawan melihat bahwa serangan modernitas melalui televisi sebagai media informasi dapat mengancam keberlangsungan nilai-nilai tradisional. Hal ini diamini oleh Sztompka (2004: 88) yang mengatakan bahwa terdapat empat fenomena penting akibat dari modernisasi yakni; (1) Sekulerisasi atau merosotnya arti penting keyakinan agama, nilai dan norma yang digantikan oleh gagasan dan aturan yang disahkan oleh argument dan pertimbangan duniawi; (2) Peran sentral ilmu yang membuka jalan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dan selanjutnya dimanfaatkan dalam bentuk teknologi atau kegiatan produktif; (3) Demokratisasi pendidikan yang menjangkau lapisan penduduk yang makin luas dan tingkat pendidikan yang makin tinggi; (4) Munculnya kultur massa; produk estetika, kesusasteraan, dan artistik berubah menjadi komoditi yang tersebar luas di pasar dan menarik semua lapisan sosial.
Salah satu trend informasi di media massa beberapa bulan terakhir adalah pemberitaan masalah hukum yang menimpa Ustadz Cilik Guntur Bumi, korupsi yang dilakukan beberapa petinggi partai berlabel Islam, kerusuhan oleh FPI, terorisme dan ISIS. Informasi tersebut disampaikan secara runtut, rutin, massive, dan konsisten di beberapa program informasi dari lembaga penyiaran swasta yang berbeda, seperti; Liputan 6, Silet, Obsesi, dan lain-lain. Sepintas tidak ada yang harus dipermasalahkan, sebab serangkaian pemberitaan tersebut masih berada dalam koridor kebebasan pers. Namun bila dianalisis menggunakan critical discourse analysis, pemberitaan itu seolah menggambarkan seorang ahli agama memanfaatkan situasi dan harapan masyarakat atas dirinya untuk memperoleh kepentingan-kepentingan pribadi. Mengarahkan khalayak ke suatu pemikiran bahwa orang yang memahami agama cenderung memanfaatkan sakralitas dari agama itu untuk kepuasan dan kekuasaan.
Jika informasi tersebut diberitakan secara acak, maka khalayak tidak akan berkesimpulan seperti itu dan menganggap bahwa pemberitaan tersebut seperti pemberitaan lain pada umumnya. Sedangkan apabila informasi tersebut disampaikan kepada khalayak secara runtut, massive, rutin (frekuensi tinggi), dan konsisten di beberapa stasiun televisi, maka akan terbentuk suatu fakta sosial yang menegaskan bahwa seolah setiap permasalahan disebabkan oleh agama Islam. Dampak positifnya, khalayak menjadi tahu bahwa hal itu terjadi. Dampak negatifnya adalah rusaknya citra agama Islam bagi penganut agama lain, serta hilangnya keyakinan terhadap sakralitas dan nilai agama bagi pemeluk agama Islam. Muaranya adalah sekularitas atau konsep yang memisahkan antara permasalahan duniawi dan agama. Dalam sejarah dunia, sekularitas berkembang menjadi suatu pemikiran bahwa Tuhan itu tidak ada.
Fenomena ini pernah terjadi pada abad 16 di Eropa, dimana sekularitas muncul akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengaruh kekuasaan gereja dan nilai agama yang dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan mereka. Fenomena ini digambarkan oleh Karl Marx dalam kajian teoritis yang menekankan bahwa agama adalah candu. Fenomena ini mulai terlihat dalam masyarakat Islam di Indonesia dan jika tidak diperhatikan maka prosesnya akan lebih cepat berkat bantuan media massa, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
            Selain sekularitas, globalisasi nilai barat juga terlihat jelas dalam program hiburan seperti musik, dan tarian. Adaptasi seni modern perlahan menggantikan posisi seni budaya di hati khalayak. Generasi muda melihat tari tradisional sebagai sesuatu yang kuno dan kampungan, sementara melihat tarian Gangnam Style dan Harlem Shake sebagai sesuatu yang luar biasa. Padahal jika diperhatikan, gerakan-gerakan dalam tari tradisional penuh dengan kearifan dan mengutamakan keselarasan. Sementara Gangnam Style dan Harlem Shake cenderung bebas mengikuti musik modern hasil ramuan para Disk Jockey dan cenderung vulgar di beberapa gerakan. Generasi muda saat ini lebih bangga bila mahir menari Gangnam Style dibanding tarian tradisional. Miris namun seperti itulah realitas yang terjadi.
Demikian juga dalam program drama televisi seperti film dan sinetron, nilai-nilai modern juga ditransmisikan secara massive. Kehidupan tokoh sentral dicitrakan sebagai kehidupan yang ideal. Dengan pola yang hampir sama dalam setiap film atau sinetron, pencitraan tokoh sentral adalah orang yang modern, berbahasa gaul, berparas tampan dan cantik, mandiri, hidup di lingkungan perkotaan, penyendiri, berada di luar pengaruh lingkungan, materialistis, memiliki pekerjaan bagus, mengenakan mode pakaian-pakaian yang terbaru, sangat toleran dan terbuka, serta akrab dengan dunia malam. Sesekali unsur kedaerahan disisipkan sebagai pembanding antara kehidupan modern dan kehidupan tradisional.
Dalam beberapa tayangan unsur-unsur kedaerahan dicitrakan sebagai sesuatu yang lucu dan ketinggalan jaman, seperti kemunculan figur etnis Batak atau etnis lain lengkap dengan stereotip dan logat yang terlalu dibuat-buat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pesan yang disampaikan ke khalayak dalam sinetron seolah-olah modern itu baik dan tradisional itu buruk. Seharusnya dalam setiap tayangan hiburan seperti sinetron dan film disampaikan himbauan tentang kandungan nilai-nilai yang ada dalam tayangan tersebut. Himbauan disampaikan sebelum tayangan dimulai selama 10-15 detik. Misalkan; “tayangan yang akan anda saksikan mengandung unsur kekerasan eksplisit dan nilai-nilai modern yang tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai kultur Indonesia. Tayangan ini sepenuhnya hasil rekaan dan fiktif, ditujukan untuk hiburan semata. Orang tua diharapkan untuk menyampaikan kepada anak bahwa tayangan ini tidak untuk ditiru di rumah, di sekolah, atau dimanapun”.
Fenomena lain yang luput dari perhatian adalah kemunculan figur transgender di beberapa program hiburan. Meski eksistensi figur transgender sudah dilarang oleh KPI, namun tetap saja beberapa lembaga penyiaran swasta nekat menampilkannya secara massive. Media menciptakan suatu keadaan bahwa seolah “tidak ada banci tidak ramai”. Awalnya, penampilan figur transgender dalam program televisi hanya untuk meramaikan atau sebatas ditertawakan tingkahnya. Tapi tanpa disadari, mereka berhasil menciptakan ikon atau duta transgender melalui televisi. Penampilan figur transgender dalam dunia penyiaran merupakan salah satu bentuk perjuangan mereka untuk menunjukkan pada khalayak bahwa kaum transgender ada, mereka ingin diterima, mereka ingin diakui dan dijamin hak-haknya oleh negara. Jika hal ini terus-menerus dilakukan, maka sebentar lagi Indonesia akan punya undang-undang yang mengakui transgender sebagai salah satu jenis kelamin dan melegalkan homoseksualitas serta pernikahan sesama jenis.
Di negara-negara Barat kaum transgender, homoseksual, dan pernikahan sesama jenis dijamin keberadaannya oleh negara melalui suatu undang-undang, akan tetapi di Indonesia hal itu masih dianggap tabu. Nilai agama dan budaya yang masih dipegang oleh masyarakat Indonesia saat ini masih memandang transgender dan homoseksualitas sebagai bentuk penyimpangan sosial. Keberadaan mereka di Indonesia mungkin dapat diterima suatu saat nanti, dengan syarat jika nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat khususnya generasi muda sudah sepenuhnya meniru budaya Barat. Karena Negara kita menganut paham demokrasi, maka selalu suara terbanyak yang menentukan.

Pemanfaatan Televisi Sebagai Media Sosialisasi Nilai Budaya Unggul
            Budaya unggul atau culture of excellence merupakan perbincangan yang menarik akhir-akhir ini, khususnya dalam organisasi modern seperti pperusahaan swasta dan instansi pemerintahan. Budaya unggul merupakan suatu bentuk perilaku yang dilakukan di luar dari kebiasaan dalam arti yang positif. Berdasarkan telaah terhadap beberapa literatur, dapat disimpulkan nilai-nilai budaya unggul di Indonesia meliputi: (1) Kepemimpinan dan keteladanan, (2) Budaya kerja keras dan kedisiplinan, (3) Gotong-royong dan kesadaran kelompok (4) Nasionalisme dan toleransi (5) Hemat dan gemar menabung, (6) Jiwa satria dan budi pekerti, (7) Jujur dan bertanggung jawab, serta (8) Loyalitas dan pengabdian.
Nilai-nilai tersebut dalam sejarah perkembangannya menjadi acuan bagi komunitas tradisional dalam bertindak, berperilaku, dan bermasyarakat. Masyarakat yang masih memegang teguh tradisi umumnya tidak mengenal krisis kepemimpinan, sebab sistem kepemimpinan adat senantiasa dipegang teguh, dihormati dan dipatuhi secara turun temurun. Disadari atau tidak, nilai budaya unggul ada dalam setiap warisan budaya dalam bentuk kearifan tradisional, baik dari cerita-cerita rakyat, syair-syair, pantun-pantun, lagu daerah, peraturan-peraturan, tari-tarian, dan bentuk warisan budaya lainnya. Hanya saja, kearifan tradisional itu tidak dimaknai dengan benar, karena orang awam melihat warisan budaya yang ada sebagai romantisme semata tanpa mengambil pembelajaran yang terkandung di dalamnya.
Pemaknaan yang benar terhadap nilai luhur dan kearifan tradisional dalam warisan budaya harus disosialisasikan kepada khalayak dengan menggunakan media informasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti radio dan televisi. Realisasinya tidak begitu sulit, namun melibatkan banyak pihak. Harus ada komitmen yang kuat dan kerjasama yang baik antara dewan perwakilan rakyat, lembaga pemerintah pusat dan daerah sebagai pengatur, KPI sebagai pengawas independen, masyarakat sebagai konsumen dan pemerhati, serta lembaga penyiaran sebagai pelaksana.
            Setiap lembaga penyiaran melalui stasiun relay di setiap daerah wajib mengikutsertakan muatan lokal dalam tayangannya secara rutin setiap hari dengan total durasi minimal 4 jam, yang berisikan kearifan, nilai-nilai budaya serta hal-hal yang mengandung unsur wawasan nusantara. Kewajiban ini sebaiknya diikuti dengan kekuatan hukum yang sifatnya memaksa melalui peraturan perundangan. Tujuannya agar masyarakat mengenal kembali adat dan budaya yang ada di sekitarnya. Sasaran tayangan adalah seluruh lapisan masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Materi-materi tentang kearifan dan nilai budaya dapat diperoleh dari lembaga pemerintah daerah atau UPTD dari kementrian yang menangani masalah kebudayaan. Program-program bermuatan budaya tersebut harus disajikan secara konsisten meski rating-nya tidak terlalu bagus.
            Bentuk program sebaiknya berupa film dokumenter yang mengangkat tema mata budaya di suatu daerah, dengan melibatkan masyarakat sekitar atau penetua adat sebagai narasumber. Dalam program tersebut sebaiknya diselingi dengan alunan lagu-lagu daerah yang menggunakan alat musik tradisional, seperti; rapa’i, rebana, saluang, gondang, dan lain sebagainya. Lagu-lagu tradisional masing-masing daerah boleh saja di aransemen agar sesuai dengan perkembangan trend musik, tetapi jangan menghilangkan soul, makna, dan nuansa aslinya.
Mengangkat pertunjukan tari tradisional sebagai bagian dari program hiburan juga merupakan tindakan nyata dari kepedulian terhadap budaya. Saat ini, apresiasi terhadap seni tari tradisional semakin berkurang sejak lembaga penyiaran swasta rutin menyajikan seni tari modern seperti; sexy dance, striptease, break dance, salsa, gangnam style, harlem shake, dan tari-tari modern lain. Tari tradisional hanya disajikan pada acara tertentu saja seperti peringatan hari kemerdekaan nasional, penyambutan tamu negara, atau acara resmi lain yang sifatnya tertutup.
Rendahnya frekuensi pertunjukan tari tradisional di televisi menciptakan anggapan bahwa seni tari tradisional bukan hal yang populer di masyarakat dan menciptakan citra kampungan, khususnya di kalangan generasi muda. Padahal, popularitas seni tradisional dapat dengan mudah diciptakan dengan membuat program khusus yang rutin disiarkan. Dengan adanya program rutin yang menayangkan seni tari daerah di televisi, para seniman yang aktif di bidang ini tentu akan diberdayakan, bahkan jumlahnya bisa mengalami peningkatan yang signifikan. Seniman tari akan lebih antusias mendalami seni tari tradisional tanpa harus takut khawatir dengan masalah penghasilan. Dengan demikian, tari tradisional dapat terus dilestarikan dan kembali menjadi trend nasional seperti dulu.
Selain kesenian, Talk show tentang tokoh budaya lokal dan isu kebudayaan juga sangat baik untuk disajikan kepada khalayak. Selama ini, talk show yang ada di program televisi hanya berkutat pada kehidupan selebritis, lelucon, politik, bisnis, dan permasalahan hukum yang sedang trend. Talk show dan diskusi budaya sangat jarang dipublikasikan melalui televisi dan sifatnya cenderung eksklusif, seperti seminar, kuliah umum, dan pelatihan. Akibatnya, diskusi budaya hanya dapat dinikmati oleh kaum intelektual dan akademisi dan tidak dapat diakses secara luas oleh khalayak yang membutuhkannya.
Budaya Indonesia saat ini terancam punah karena gempuran globalisasi nilai-nilai Barat di berbagai bidang kehidupan. Melalui talk show, para pemirsa dapat memahami arti penting dari nilai budaya yang kemungkinan besar tidak mereka peroleh dari kurikulum sekolah ataupun pendidikan tinggi. Apalagi jika narasumber adalah tokoh budaya lokal yang sangat memahami budaya tempat ia tinggal. Talk show yang berbobot akan menghasilkan solusi tentang hal-hal yang harus dilakukan untuk menangkal budaya luar yang mengancam kearifan tradisional, dan bagaimana melestarikannya melalui sosialisasi terhadap anak di dalam institusi keluarga.
            Mengangkat cerita rakyat sebagai sosialisasi nilai budaya dan kearifan tradisional sebaiknya tidak dilakukan melalui sinetron. Sebab kreatifitas dan improvisasi yang berlebihan dari pengarang cerita dikhawatirkan dapat merusak orisinalitas dari cerita rakyat tersebut sehingga mengakibatkan kearifan dan nilai-nilai budaya tidak dapat ditangkap oleh pemirsa. Apabila ditelaah dengan menggunakan metode critical discourse analysis, sinetron yang diadaptasi dari cerita rakyat tidak banyak menggambarkan kearifan tradisional sesuai dengan cerita aslinya. Penambahan alur cerita yang lebih panjang, munculnya tokoh tambahan, dan setting waktu yang berbeda justru semakin mengaburkan kearifan itu sendiri. Pemirsa tidak memahami kearifan tradisional dalam sinetron tersebut, namun menikmati permainan emosional rekaan hasil penulis cerita.

Penutup
            Televisi merupakan agen sosialisasi yang paling berpengaruh dalam kehidupan seorang individu. Dalam kapasitasnya, televisi berfungsi untuk memberitahukan, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh televisi adalah satu arah dan tidak interaktif. Pemirsa televisi diperlakukan sebagai objek yang terus-menerus menerima pesan tanpa dapat memberikan respon kepada pemberi pesan. Apabila pemirsa cukup bijak dalam memilah informasi yang disampaikan, tentu tidak masalah.
Permasalahannya adalah bahwa sebagian besar khalayak yang menonton televisi belum cukup bijak untuk mencerna informasi yang diterima dan cenderung menelan bulat-bulat apa yang disampaikan. Akibatnya, informasi yang diterima seolah-olah menjadi nyata dan digeneralisir. Padahal, apa yang disampaikan oleh lembaga penyiaran sangat bergantung dari misi apa yang ia bawa. Informasi yang disampaikan belum tentu seperti kenyataannya, sebab penyajiannya hanya sebagian kecil dan hasil suntingan editorial. Tidak menutup kemungkinan adanya intervensi dalam prosesnya. Sementara informasi-informasi yang tidak disampaikan, belum tentu tidak terjadi di dunia nyata.
            Hasil pembahasan menunjukkan bahwa lembaga penyiaran saat ini cenderung menyajikan hiburan-hiburan bertema modernitas dibandingkan siaran berwawasan budaya yang sifatnya edukatif. Alhasil, banyak program-program hiburan yang tidak relevan dan cenderung mematikan nilai-nilai budaya. Televisi sebagai media penyiaran memiliki kebebasan dalam menyajikan program-programnya. Akan tetapi, kebebasan dalam penyiaran juga harus dibatasi dan diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sudah pasti, bagi sebagian besar orang yang menganut paham modernitas, pembatasan tersebut dianggap sebagai reaksi yang terlalu berlebihan. Berdasarkan dengan hasil analisis terhadap trend yang berkembang saat ini, dapat diasumsikan bahwa jika tidak ada batasan norma dalam penyiaran maka sedikit demi sedikit dalam beberapa tahun ke depan mindset orang-orang akan diarahkan ke suatu pemikiran bahwa “telanjang itu fitrah kita”, “seks bebas itu sudah biasa”, “homoseksual lazim-lazim saja”, “Tuhan itu tidak ada”, atau “Tuhan itu adalah kita”. Benarkah itu yang kita inginkan untuk masa depan generasi muda? Hanya kita yang mampu menjawab itu.
Secara teknis, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk mengawal sosialisasi pelestarian dan pengembangan nilai budaya di televisi, yakni preventif dan represif. Metode preventif dapat dilakukan dengan membuka jalur komunikasi terhadap lembaga penyiaran swasta agar bersedia untuk memulai program-program yang berwawasan budaya, memberi pelatihan-pelatihan tentang materi penyiaran yang berwawasan budaya, serta memberi teguran terhadap inkonsistensi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan nilai budaya.
Sementara metode represif dapat dilakukan dengan menerapkan pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment) bagi lembaga penyiaran yang tidak bersedia untuk ikut andil dalam program pelestarian dan pengembangan nilai tradisional. Bentuk reward bisa berupa penghargaan televisi dengan program berwawasan budaya atau semacamnya. Sedangkan punishment bisa diterapkan dengan memberikan sanksi administratif, bahkan bila perlu menutup beberapa program tertentu yang tidak sesuai dengan fungsi televisi sebagai media pendidikan. Tentunya, kembali lagi bahwa semua itu adalah tanggung jawab kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.



[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi, diakses tanggal 29 September 2014
[2] Rating televisi adalah salah satu teknik yang dilakukan untuk mengukur jumlah audiens yang menyaksikan program-program dengan kategori tertentu. Secara teoritis, rating televisi dianggap linear dengan jumlah audiens sehingga hasil pengukurannya dijadikan tolok ukur untuk suatu kepentingan tertentu.
[5] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
[6] Lihat Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, Hlm. 154.
[7] Lihat Sunarto, Kamanto. 2006. Pengantar Sosiologi. Jakarta: LP-FEUI, hlm. 27.
[8] Sunarto, Ibid. hlm. 33
[9] Lihat http://edwi.upnyk.ac.id/DASBRO_10.pdf, diakses tanggal 30 september 2014
[10] Lihat Etzioni dalam Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, halaman 85.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive