Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra
![]() |
Sumber: http://www.top10films.co.uk |
Pendahuluan
Information
is Power!, Perumpamaan ini sangat relevan dengan perkembangan dunia
informasi yang terjadi dengan pesat pada tiga dasawarsa terakhir. Orang yang
menguasai informasi mampu menguasai dunia dari balik layar. Untuk mencapai itu,
setiap orang di seluruh dunia berlomba-lomba untuk memperoleh informasi dengan
berbagai tujuan dan kepentingan, baik informasi bisnis, intelijen, sains,
sejarah, peristiwa, dan hiburan.
Perkembangan terhadap media
informasi membuat perubahan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Jika dulu
teknologi Global Positioning System (GPS)
hanya dapat diakses oleh pemerintah dengan alat yang mahal, saat ini GPS dapat
diakses oleh ibu rumah tangga melalui televisi yang terkoneksi jaringan
internet. Namun meski internet telah menjadi sumber informasi bagi masyarakat
dunia, televisi masih menjadi media informasi yang diperhitungkan.
Menurut salah satu situs internet, televisi
merupakan media informasi yang berfungsi sebagai penerima siaran gerak dan
suara, baik yang hitam-putih (monochrome)
maupun berwarna. Kata Televisi merupakan gabungan dari kata tele (Yunani) yang berarti jauh dan visio (Latin) artinya penglihatan, sehingga
televisi dapat diartikan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan
media visual atau penglihatan[1].
Di Indonesia televisi digunakan
untuk menikmati berbagai sajian acara yang dikemas apik dan terjadwal, mulai
dari pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB. Bahkan banyak siaran yang
aktif sampai 24 jam. Semakin banyak pemirsa yang menonton suatu program,
pemeringkatan (rating[2])
program tersebut akan meningkat. Jika rating
program meningkat, para produsen dan pemilik brand tertentu akan tertarik untuk berinvestasi dalam program yang dimaksud.
Profit perusahaan televisi akan meningkat seiring dengan bertambahnya iklan.
Motivasi ini membuat para aktivis di
industri televisi membuat program-program hiburan (entertain) yang unik dan berbeda, kreatif, dan menarik yang tidak
jarang mengadopsi budaya populer dari luar negeri secara membabi buta. Tujuannya,
untuk meningkatkan rating dan menarik produsen serta pemilik brand untuk berinvestasi. Gejala ini diibaratkan
sebagai culture killer.
Fokus
yang berlebihan terhadap program entertain
membuat industri penyiaran melupakan unsur-unsur pendidikan dan budaya, sementara
di pihak lain para pemirsa menganggap bahwa program yang sifatnya edukatif dan
berwawasan nilai budaya kurang menarik. Dengan demikian, fungsi televise
sebagai pelestari budaya (culture
sustainer) menjadi terabaikan. Melihat perkembangan industri televisi saat
ini menimbulkan satu pertanyaan besar, apakah para pemirsa menyadari bahwa
sajian yang mereka nikmati berdampak bagi kelangsungan identitas dan budaya
yang ada di daerah mereka?
Sejarah Perkembangan Industri Penyiaran
Indonesia
Program televisi pertamakali
disiarkan di Indonesia tanggal 24 Agustus 1962 atas perintah Presiden Soekarno,
dengan agenda pertama penayangan pembukaan Asian Games IV di stadion utama
Gelora Bung Karno. Pada 1963 tanggung jawab pengelolaan kemudian diserahkan ke
Yayasan Televisi Republik Indonesia (TVRI) atas dasar Keppres No. 215/1963.
Pada saat itulah, TVRI mulai mengalami perkembangan pesat dan stasiun-stasiun
di daerah yang berfungsi sebagai perwakilan dan koresponden juga mulai dibangun[3].
Pada masa orde baru, TVRI menjadi
salah satu bagian dari Departemen Penerangan yang berfungsi sebagai alat komunikasi
pemerintah. Tujuannya untuk menyampaikan pada khalayak program pembangunan yang
akan, sedang, dan telah dilakukan oleh pemerintah, menyosialisasikan nilai budaya,
Pancasila serta nasionalisme guna mempersatukan seluruh rakyat. Misi tersebut
masih dijalankan oleh TVRI sebagai satu-satunya Lembaga Penyiaran Publik milik
negara, hanya saja TVRI saat ini lebih netral dan tidak memihak suatu rezim.
Lembaga penyiaran swasta pertama di
indonesia adalah RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang mengudara dengan
siaran percobaan tanggal 1 Januari 1988. Tujuannya selain untuk mengimbangi
TVRI yang saat itu menjadi media penguat hegemoni orde baru, juga sebagai
alternatif hiburan yang berasal dari luar negeri. RCTI diresmikan 24 Agustus
1989 sebagai televisi dengan penyiaran terbatas, kemudian pada 24 agustus 1990
RCTI memperoleh izin bersiaran secara bebas[4].
Tahun 1990-an merupakan angin segar
bagi era industri televisi di Indonesia, saat itu mulai bermunculan
lembaga-lembaga penyiaran swasta seperti SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993),
Indosiar (1995). Industri televisi nasional sempat mengalami resesi akibat
pengaruh krisis, namun bangkit kembali paska peristiwa reformasi 1998. Terbukti
dengan berdirinya stasiun baru seperti Global (1999), Metro TV (2000), Trans TV
(2001), Trans 7 (2006), TV One (2008), MNC TV (2010) serta Net TV (2013).
Kepastian hukum lembaga penyiaran
diatur dan dikuatkan melalui UU RI No. 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran, dimana pada
pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa penyiaran diselenggarakan oleh Lembaga
penyiaran swasta, Lembaga penyiaran publik, Lembaga penyiaran komunitas, dan Lembaga
penyiaran berlangganan. Tentunya, dengan tetap mempertimbangkan misi sebagai
media komunikasi massa yang berperan dalam kehidupan sosial, budaya, politik
dan ekonomi, memiliki kebebasan dan bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, serta kontrol dan
perekat sosial[5].
Untuk memperkuat eksistensinya di
industri penyiaran, beberapa stasiun televisi bergabung dalam satu group manajemen
yang lebih besar. RCTI, Global, dan MNC TV bernaung di bawah satu atap, yakni
MNC Group pimpinan oleh Harry Tanoe. ANTV dan TV One bernaung di bawah manajemen Bakrie Group. Sementara
itu, Trans TV dan Trans 7 dinaungi oleh Trans Corp milik Chairul Tanjung.
Televisi, Sosialisasi Nilai, dan
Modernitas
Dalam
kajian sosiologi, proses sosialisasi didefinisikan sebagai proses belajar,
yaitu suatu proses akomodasi dimana seorang individu bertahan, mengubah impuls
dalam dirinya, serta mengambil alih cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya.
Dalam proses sosialisasi, individu mempelajari kekuasaan, sikap, ide, pola-pola
nilai dan tingkah laku dalam entitas sosial. Sifat dan kecakapan yang dipelajari
dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan
sistem dalam dirinya[6].
Senada
dengan itu, Berger dalam Sunarto menegaskan bahwa dalam proses sosialisasi
seseorang mempelajari peranan (role)
dalam masyarakat[7].
Peranan tersebut disampaikan melalui agen-agen sosialisasi. Dalam kajian
sosiologi terdapat empat agen sosialisasi utama dalam masyarakat, antara lain;
keluarga, teman sebaya (peer), Institusi
pendidikan, dan media massa.
Keluarga adalah agen sosialisasi
awal dalam proses kehidupan seseorang, dimana ia mempelajari kemampuan dasar
seperti peran dasar, gender, bahasa,
emosi, dan kasih sayang. Teman sebaya adalah agen sosialisasi lanjutan dimana
seseorang mempelajari peran yang lebih luas dan setara, teman sebaya menawarkan
proses sosialisasi yang lebih dinamis dibandingkan dengan keluarga. Sementara
itu, institusi pendidikan mempersiapkan seseorang untuk peran-peran yang lebih
kompleks dalam masyarakat, dasar-dasar edukasi teoritis, membentuk pola pikir, membentuk
kedewasaan, dan mempersiapkan seseorang untuk masuk ke dunia publik.
Media massa merupakan agen
sosialisasi yang pengaruhnya cukup besar bagi perkembangan individu. Media
massa dalam hal ini terdiri atas media cetak (seperti; koran, majalah, spanduk,
baligho) dan media elektronik (internet, video, film, kaset, radio, dan
televisi). Menurut Soenarto, melalui program-programnya media massa memiliki frekuensi
yang sangat tinggi dalam penyampaian informasi dan nilai. Informasi yang
disampaikan dapat membentuk perilaku seseorang menjadi prososial atau antisosial.
Penayangan informasi yang terus-menerus menonjolkan kekerasan menjadi pemicu
perilaku agresif pada anak. Penayangan informasi yang mengandung seksualitas
sering dikaitkan dengan degradasi moral dan peningkatan pelanggaran terhadap
kesusilaan, iklan-iklan di media massa berpotensi untuk merubah pola konsumsi
atau gaya hidup masyarakat. Selain itu, media massa dalam politik juga
digunakan untuk mengukur, membentuk, mempengaruhi ataupun menggiring pandangan
dan pendapat umum[8].
Pembahasan
mengenai televisi sebagai media sosialisasi telah diulas dari berbagai sudut
pandang keilmuan, khususnya di bidang ilmu sosial seperti komunikasi dan sosiologi.
Media televisi sendiri dalam eksistensinya memiliki fungsi untuk memberitahukan
(to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence). Jenis program televisi
saat ini juga semakin bervariasi dan setiap program yang ditayangkan memiliki
dampak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut
Edwi Arief Sosiawan dalam sebuah situs pendidikan, Jenis-jenis program
penyiaran dapat dibagi berdasarkan dua kategori, yakni program hiburan dan program
informasi. Bentuk program hiburan terbagi atas empat jenis, diantaranya: Drama,
yang terdiri atas sinetron dan film (movies),
Permainan, Musik, Pertunjukan (show).
Sementara program informasi terbagi atas dua, yakni[9]; Berita
keras (hard news), adalah segala bentuk
informasi yang urgent dan menarik
yang harus segera disiarkan agar dapat diketahui oleh khalayak secepatnya,
termasuk di dalamnya: Straight news, Feature, Infotainment; serta Berita lunak
(soft news), adalah informasi penting
dan menarik yang disampaikan secara mendalam namun tidak harus segera
ditayangkan, termasuk di dalamnya: Current
affair, Magazine, Dokumenter, dan Talk show.
Dalam
industri penyiaran, program yang disajikan biasanya sudah disesuaikan dengan
selera pemirsanya. Program tersebut telah melalui proses yang cukup panjang,
mulai dari seleksi hingga evaluasi. Sebelum menyiarkan sebuah program, team
produksi biasanya mengumpulkan data-data tentang program seperti apa yang
digemari oleh masyarakat, baik melalui rating
program di televisi lain, trend,
maupun survey langsung ke lapangan. Setelah mempelajari data-data yang
dikumpulkan, maka program tersebut akan diajukan untuk diproduksi dan kemudian disiarkan
kepada khalayak.
Program-program
baru biasanya dievaluasi dalam 20 sampai 24 episode. Jika program tersebut
memiliki rating tinggi, maka akan tetap
dilanjutkan. Sementara jika ratingnya
rendah, akan dihentikan dan diganti dengan program lain yang dianggap sesuai
dengan selera pemirsa. Jarang ditemui lembaga penyiaran swasta konsisten
menyiarkan program yang tidak diminati masyarakat. Selain tidak menarik bagi
produsen untuk berinvestasi, juga hanya akan menghabiskan anggaran untuk biaya
produksinya.
Dari
hasil pengamatan terhadap beberapa lembaga penyiaran swasta, diketahui bahwa
unsur modernitas lebih digemari oleh pemirsa dibanding program yang bermuatan
wawasan kebudayaan. Modernitas tersebut meliputi trend dalam musik, seremonial, tari, alat-alat teknologi (gadget), gaya hidup, fashion, kendaraan bermotor, dan makanan
yang biasanya disisipkan dalam program televisi seperti film dan sinetron. Modernitas
menawarkan perubahan dan nilai-nilai baru yang berbeda kepada khalayak. Perbedaan
ini yang menimbulkan ketertarikan, terutama pada generasi muda yang cenderung aktif
mencari dan menerima perubahan. Akibatnya, program-program dengan aspek
modernitas memiliki rating teratas
dalam industri penyiaran. Lebih lanjut, Sztompka menjelaskan nilai-nilai modern
sebagai berikut:[10]
1.
Individualisme, dimana pemegang peran
sentral dalam masyarakat adalah individu bukan komunitas, kelompok, suku, atau
bangsa. Individu terbebas dari posisi tergantikan, bebas dari ikatan kelompok,
bebas berpindah ke kelompok yang diinginkan, serta bebas menentukan dan
bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan tindakannya sendiri.
2.
Diferensiasi, memunculkan sejumlah
besar keragaman spesialisasi dan spesifikasi baik dalam dunia kerja, musik,
mode, maupun terhadap pola konsumsi.
3.
Rasionalitas.
4.
Ekonomisme, dimana seluruh aspek
kehidupan sosial didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria
ekonomi, dan prestasi ekonomi yang diukur dengan uang sebagai alat tukar.
5.
Perkembangan, dimana modernitas
cenderung memperluas jangkauan ruang atau proses globalisasi yang meliputi
kawasan geografis serta menjangkau bidang kehidupan pribadi seperti; keyakinan
dan agama, perilaku seksual, selera konsumsi, pola hiburan, dan sebagainya.
Televisi Sebagai Culture Killer
Di
Indonesia televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat. Di satu rumah bahkan tidak jarang ditemui ada lebih dari satu
televisi yang berada di ruang tamu dan kamar tidur. Pemanfaatan televisi juga
berbeda berdasarkan penggunanya. Seorang ayah misalnya, menonton televisi untuk
melihat acara film, olahraga, dan berita. Ibu dan anak perempuan biasanya
menonton sinetron, infotainment atau acara kuliner, sementara anak laki-laki
menonton film kartun, musik atau sepak bola. Jumlah waktu yang dihabiskan oleh
beberapa orang untuk menonton televisi jauh lebih banyak dibandingkan dengan
interaksi yang dilakukan dengan orang lain di luar rumah. Ini menjadikan televisi
sebagai agen sosialisasi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Sejauhmana
peran televisi menjalankan fungsi-fungsinya dapat kita lihat dari program-program
yang ditayangkan. Apakah ia membawa misi pendidikan, melestarikan budaya, atau
justru sebaliknya menyajikan hiburan berorientasi nilai modern. Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap program di beberapa stasiun televisi swasta,
diketahui bahwa jarang sekali ditemui program-program yang sifatnya edukatif
dan berwawasan budaya. Jika ada, durasinya terbatas dan frekuensi penyajiannya
juga rendah atau jarang disiarkan. Media penyiaran lebih senang menyajikan
siaran yang memuat nilai modern.
Sejak
1990-an, budayawan melihat bahwa serangan modernitas melalui televisi sebagai
media informasi dapat mengancam keberlangsungan nilai-nilai tradisional. Hal
ini diamini oleh Sztompka (2004: 88) yang mengatakan bahwa terdapat empat
fenomena penting akibat dari modernisasi yakni; (1) Sekulerisasi atau
merosotnya arti penting keyakinan agama, nilai dan norma yang digantikan oleh
gagasan dan aturan yang disahkan oleh argument
dan pertimbangan duniawi; (2) Peran sentral ilmu yang membuka jalan untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar dan selanjutnya dimanfaatkan dalam bentuk
teknologi atau kegiatan produktif; (3) Demokratisasi pendidikan yang menjangkau
lapisan penduduk yang makin luas dan tingkat pendidikan yang makin tinggi; (4)
Munculnya kultur massa; produk estetika, kesusasteraan, dan artistik berubah
menjadi komoditi yang tersebar luas di pasar dan menarik semua lapisan sosial.
Salah
satu trend informasi di media massa beberapa bulan terakhir adalah pemberitaan
masalah hukum yang menimpa Ustadz
Cilik Guntur Bumi, korupsi yang dilakukan beberapa petinggi partai berlabel
Islam, kerusuhan oleh FPI, terorisme dan ISIS. Informasi tersebut disampaikan
secara runtut, rutin, massive, dan
konsisten di beberapa program informasi dari lembaga penyiaran swasta yang
berbeda, seperti; Liputan 6, Silet, Obsesi, dan lain-lain. Sepintas tidak ada
yang harus dipermasalahkan, sebab serangkaian pemberitaan tersebut masih berada
dalam koridor kebebasan pers. Namun bila dianalisis menggunakan critical discourse analysis, pemberitaan
itu seolah menggambarkan seorang ahli agama memanfaatkan situasi dan harapan
masyarakat atas dirinya untuk memperoleh kepentingan-kepentingan pribadi.
Mengarahkan khalayak ke suatu pemikiran bahwa orang yang memahami agama
cenderung memanfaatkan sakralitas dari agama itu untuk kepuasan dan kekuasaan.
Jika
informasi tersebut diberitakan secara acak, maka khalayak tidak akan berkesimpulan
seperti itu dan menganggap bahwa pemberitaan tersebut seperti pemberitaan lain
pada umumnya. Sedangkan apabila informasi tersebut disampaikan kepada khalayak
secara runtut, massive, rutin
(frekuensi tinggi), dan konsisten di beberapa stasiun televisi, maka akan terbentuk
suatu fakta sosial yang menegaskan bahwa seolah setiap permasalahan disebabkan
oleh agama Islam. Dampak positifnya, khalayak menjadi tahu bahwa hal itu
terjadi. Dampak negatifnya adalah rusaknya citra agama Islam bagi penganut
agama lain, serta hilangnya keyakinan terhadap sakralitas dan nilai agama bagi
pemeluk agama Islam. Muaranya adalah sekularitas atau konsep yang memisahkan
antara permasalahan duniawi dan agama. Dalam sejarah dunia, sekularitas
berkembang menjadi suatu pemikiran bahwa Tuhan itu tidak ada.
Fenomena
ini pernah terjadi pada abad 16 di Eropa, dimana sekularitas muncul akibat
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengaruh kekuasaan gereja dan nilai agama
yang dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan mereka. Fenomena ini digambarkan
oleh Karl Marx dalam kajian teoritis yang menekankan bahwa agama adalah candu. Fenomena
ini mulai terlihat dalam masyarakat Islam di Indonesia dan jika tidak
diperhatikan maka prosesnya akan lebih cepat berkat bantuan media massa, baik
secara sengaja maupun tidak sengaja.
Selain sekularitas, globalisasi nilai
barat juga terlihat jelas dalam program hiburan seperti musik, dan tarian. Adaptasi
seni modern perlahan menggantikan posisi seni budaya di hati khalayak. Generasi
muda melihat tari tradisional sebagai sesuatu yang kuno dan kampungan,
sementara melihat tarian Gangnam Style
dan Harlem Shake sebagai sesuatu yang
luar biasa. Padahal jika diperhatikan, gerakan-gerakan dalam tari tradisional penuh
dengan kearifan dan mengutamakan keselarasan. Sementara Gangnam Style dan Harlem
Shake cenderung bebas mengikuti musik modern hasil ramuan para Disk Jockey dan cenderung vulgar di beberapa gerakan. Generasi
muda saat ini lebih bangga bila mahir menari Gangnam Style dibanding tarian tradisional. Miris namun seperti
itulah realitas yang terjadi.
Demikian
juga dalam program drama televisi seperti film dan sinetron, nilai-nilai modern
juga ditransmisikan secara massive. Kehidupan
tokoh sentral dicitrakan sebagai kehidupan yang ideal. Dengan pola yang hampir
sama dalam setiap film atau sinetron, pencitraan tokoh sentral adalah orang
yang modern, berbahasa gaul, berparas tampan dan cantik, mandiri, hidup di
lingkungan perkotaan, penyendiri, berada di luar pengaruh lingkungan,
materialistis, memiliki pekerjaan bagus, mengenakan mode pakaian-pakaian yang
terbaru, sangat toleran dan terbuka, serta akrab dengan dunia malam. Sesekali unsur
kedaerahan disisipkan sebagai pembanding antara kehidupan modern dan kehidupan
tradisional.
Dalam
beberapa tayangan unsur-unsur kedaerahan dicitrakan sebagai sesuatu yang lucu
dan ketinggalan jaman, seperti kemunculan figur etnis Batak atau etnis lain
lengkap dengan stereotip dan logat yang terlalu dibuat-buat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pesan yang disampaikan ke khalayak dalam sinetron seolah-olah
modern itu baik dan tradisional itu buruk. Seharusnya dalam setiap tayangan
hiburan seperti sinetron dan film disampaikan himbauan tentang kandungan
nilai-nilai yang ada dalam tayangan tersebut. Himbauan disampaikan sebelum
tayangan dimulai selama 10-15 detik. Misalkan; “tayangan yang akan anda saksikan mengandung unsur kekerasan eksplisit
dan nilai-nilai modern yang tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai kultur
Indonesia. Tayangan ini sepenuhnya hasil rekaan dan fiktif, ditujukan untuk
hiburan semata. Orang tua diharapkan untuk menyampaikan kepada anak bahwa
tayangan ini tidak untuk ditiru di rumah, di sekolah, atau dimanapun”.
Fenomena
lain yang luput dari perhatian adalah kemunculan figur transgender di beberapa program hiburan. Meski eksistensi figur transgender sudah dilarang oleh KPI,
namun tetap saja beberapa lembaga penyiaran swasta nekat menampilkannya secara massive. Media menciptakan suatu keadaan
bahwa seolah “tidak ada banci tidak ramai”.
Awalnya, penampilan figur transgender
dalam program televisi hanya untuk meramaikan atau sebatas ditertawakan
tingkahnya. Tapi tanpa disadari, mereka berhasil menciptakan ikon atau duta transgender melalui televisi. Penampilan
figur transgender dalam dunia
penyiaran merupakan salah satu bentuk perjuangan mereka untuk menunjukkan pada
khalayak bahwa kaum transgender ada,
mereka ingin diterima, mereka ingin diakui dan dijamin hak-haknya oleh negara. Jika
hal ini terus-menerus dilakukan, maka sebentar lagi Indonesia akan punya
undang-undang yang mengakui transgender sebagai
salah satu jenis kelamin dan melegalkan homoseksualitas serta pernikahan sesama
jenis.
Di
negara-negara Barat kaum transgender,
homoseksual, dan pernikahan sesama jenis dijamin keberadaannya oleh negara
melalui suatu undang-undang, akan tetapi di Indonesia hal itu masih dianggap
tabu. Nilai agama dan budaya yang masih dipegang oleh masyarakat Indonesia saat
ini masih memandang transgender dan
homoseksualitas sebagai bentuk penyimpangan sosial. Keberadaan mereka di
Indonesia mungkin dapat diterima suatu saat nanti, dengan syarat jika nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat khususnya generasi muda sudah sepenuhnya meniru
budaya Barat. Karena Negara kita menganut paham demokrasi, maka selalu suara
terbanyak yang menentukan.
Pemanfaatan Televisi Sebagai
Media Sosialisasi Nilai Budaya Unggul
Budaya unggul atau culture of excellence merupakan
perbincangan yang menarik akhir-akhir ini, khususnya dalam organisasi modern
seperti pperusahaan swasta dan instansi pemerintahan. Budaya unggul merupakan
suatu bentuk perilaku yang dilakukan di luar dari kebiasaan dalam arti yang
positif. Berdasarkan telaah terhadap beberapa literatur, dapat disimpulkan
nilai-nilai budaya unggul di Indonesia meliputi: (1) Kepemimpinan dan
keteladanan, (2) Budaya kerja keras dan kedisiplinan, (3) Gotong-royong dan
kesadaran kelompok (4) Nasionalisme dan toleransi (5) Hemat dan gemar menabung,
(6) Jiwa satria dan budi pekerti, (7) Jujur dan bertanggung jawab, serta (8) Loyalitas
dan pengabdian.
Nilai-nilai
tersebut dalam sejarah perkembangannya menjadi acuan bagi komunitas tradisional
dalam bertindak, berperilaku, dan bermasyarakat. Masyarakat yang masih memegang
teguh tradisi umumnya tidak mengenal krisis kepemimpinan, sebab sistem
kepemimpinan adat senantiasa dipegang teguh, dihormati dan dipatuhi secara
turun temurun. Disadari atau tidak, nilai budaya unggul ada dalam setiap warisan
budaya dalam bentuk kearifan tradisional, baik dari cerita-cerita rakyat,
syair-syair, pantun-pantun, lagu daerah, peraturan-peraturan, tari-tarian, dan
bentuk warisan budaya lainnya. Hanya saja, kearifan tradisional itu tidak
dimaknai dengan benar, karena orang awam melihat warisan budaya yang ada
sebagai romantisme semata tanpa mengambil pembelajaran yang terkandung di dalamnya.
Pemaknaan
yang benar terhadap nilai luhur dan kearifan tradisional dalam warisan budaya harus
disosialisasikan kepada khalayak dengan menggunakan media informasi yang dekat
dengan kehidupan sehari-hari seperti radio dan televisi. Realisasinya tidak
begitu sulit, namun melibatkan banyak pihak. Harus ada komitmen yang kuat dan
kerjasama yang baik antara dewan perwakilan rakyat, lembaga pemerintah pusat
dan daerah sebagai pengatur, KPI sebagai pengawas independen, masyarakat
sebagai konsumen dan pemerhati, serta lembaga penyiaran sebagai pelaksana.
Setiap lembaga penyiaran melalui
stasiun relay di setiap daerah wajib
mengikutsertakan muatan lokal dalam tayangannya secara rutin setiap hari dengan
total durasi minimal 4 jam, yang berisikan kearifan, nilai-nilai budaya serta
hal-hal yang mengandung unsur wawasan nusantara. Kewajiban ini sebaiknya
diikuti dengan kekuatan hukum yang sifatnya memaksa melalui peraturan perundangan.
Tujuannya agar masyarakat mengenal kembali adat dan budaya yang ada di
sekitarnya. Sasaran tayangan adalah seluruh lapisan masyarakat, khususnya
anak-anak dan remaja. Materi-materi tentang kearifan dan nilai budaya dapat
diperoleh dari lembaga pemerintah daerah atau UPTD dari kementrian yang
menangani masalah kebudayaan. Program-program bermuatan budaya tersebut harus
disajikan secara konsisten meski rating-nya
tidak terlalu bagus.
Bentuk program sebaiknya berupa film
dokumenter yang mengangkat tema mata budaya di suatu daerah, dengan melibatkan
masyarakat sekitar atau penetua adat sebagai narasumber. Dalam program tersebut
sebaiknya diselingi dengan alunan lagu-lagu daerah yang menggunakan alat musik
tradisional, seperti; rapa’i, rebana, saluang, gondang, dan
lain sebagainya. Lagu-lagu tradisional masing-masing daerah boleh saja di
aransemen agar sesuai dengan perkembangan trend musik, tetapi jangan
menghilangkan soul, makna, dan nuansa aslinya.
Mengangkat
pertunjukan tari tradisional sebagai bagian dari program hiburan juga merupakan
tindakan nyata dari kepedulian terhadap budaya. Saat ini, apresiasi terhadap
seni tari tradisional semakin berkurang sejak lembaga penyiaran swasta rutin
menyajikan seni tari modern seperti; sexy
dance, striptease, break dance, salsa, gangnam style, harlem shake, dan tari-tari modern lain.
Tari tradisional hanya disajikan pada acara tertentu saja seperti peringatan
hari kemerdekaan nasional, penyambutan tamu negara, atau acara resmi lain yang
sifatnya tertutup.
Rendahnya
frekuensi pertunjukan tari tradisional di televisi menciptakan anggapan bahwa
seni tari tradisional bukan hal yang populer di masyarakat dan menciptakan
citra kampungan, khususnya di kalangan
generasi muda. Padahal, popularitas seni tradisional dapat dengan mudah
diciptakan dengan membuat program khusus yang rutin disiarkan. Dengan adanya
program rutin yang menayangkan seni tari daerah di televisi, para seniman yang
aktif di bidang ini tentu akan diberdayakan, bahkan jumlahnya bisa mengalami
peningkatan yang signifikan. Seniman tari akan lebih antusias mendalami seni
tari tradisional tanpa harus takut khawatir dengan masalah penghasilan. Dengan
demikian, tari tradisional dapat terus dilestarikan dan kembali menjadi trend
nasional seperti dulu.
Selain
kesenian, Talk show tentang tokoh
budaya lokal dan isu kebudayaan juga sangat baik untuk disajikan kepada
khalayak. Selama ini, talk show yang
ada di program televisi hanya berkutat pada kehidupan selebritis, lelucon,
politik, bisnis, dan permasalahan hukum yang sedang trend. Talk show dan diskusi
budaya sangat jarang dipublikasikan melalui televisi dan sifatnya cenderung
eksklusif, seperti seminar, kuliah umum, dan pelatihan. Akibatnya, diskusi
budaya hanya dapat dinikmati oleh kaum intelektual dan akademisi dan tidak
dapat diakses secara luas oleh khalayak yang membutuhkannya.
Budaya
Indonesia saat ini terancam punah karena gempuran globalisasi nilai-nilai Barat
di berbagai bidang kehidupan. Melalui talk
show, para pemirsa dapat memahami arti penting dari nilai budaya yang
kemungkinan besar tidak mereka peroleh dari kurikulum sekolah ataupun
pendidikan tinggi. Apalagi jika narasumber adalah tokoh budaya lokal yang
sangat memahami budaya tempat ia tinggal. Talk
show yang berbobot akan menghasilkan solusi tentang hal-hal yang harus
dilakukan untuk menangkal budaya luar yang mengancam kearifan tradisional, dan bagaimana
melestarikannya melalui sosialisasi terhadap anak di dalam institusi keluarga.
Mengangkat cerita rakyat sebagai sosialisasi
nilai budaya dan kearifan tradisional sebaiknya tidak dilakukan melalui sinetron.
Sebab kreatifitas dan improvisasi yang berlebihan dari pengarang cerita dikhawatirkan
dapat merusak orisinalitas dari cerita rakyat tersebut sehingga mengakibatkan kearifan
dan nilai-nilai budaya tidak dapat ditangkap oleh pemirsa. Apabila ditelaah dengan
menggunakan metode critical discourse
analysis, sinetron yang diadaptasi dari cerita rakyat tidak banyak menggambarkan
kearifan tradisional sesuai dengan cerita aslinya. Penambahan alur cerita yang
lebih panjang, munculnya tokoh tambahan, dan setting waktu yang berbeda justru semakin mengaburkan kearifan itu
sendiri. Pemirsa tidak memahami kearifan tradisional dalam sinetron tersebut,
namun menikmati permainan emosional rekaan hasil penulis cerita.
Penutup
Televisi merupakan agen sosialisasi
yang paling berpengaruh dalam kehidupan seorang individu. Dalam kapasitasnya,
televisi berfungsi untuk memberitahukan, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi.
Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh televisi adalah satu arah dan tidak
interaktif. Pemirsa televisi diperlakukan sebagai objek yang terus-menerus
menerima pesan tanpa dapat memberikan respon kepada pemberi pesan. Apabila pemirsa
cukup bijak dalam memilah informasi yang disampaikan, tentu tidak masalah.
Permasalahannya
adalah bahwa sebagian besar khalayak yang menonton televisi belum cukup bijak
untuk mencerna informasi yang diterima dan cenderung menelan bulat-bulat apa
yang disampaikan. Akibatnya, informasi yang diterima seolah-olah menjadi nyata
dan digeneralisir. Padahal, apa yang disampaikan oleh lembaga penyiaran sangat
bergantung dari misi apa yang ia bawa. Informasi yang disampaikan belum tentu
seperti kenyataannya, sebab penyajiannya hanya sebagian kecil dan hasil suntingan
editorial. Tidak menutup kemungkinan adanya intervensi dalam prosesnya. Sementara
informasi-informasi yang tidak disampaikan, belum tentu tidak terjadi di dunia
nyata.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa
lembaga penyiaran saat ini cenderung menyajikan hiburan-hiburan bertema modernitas
dibandingkan siaran berwawasan budaya yang sifatnya edukatif. Alhasil, banyak
program-program hiburan yang tidak relevan dan cenderung mematikan nilai-nilai budaya.
Televisi sebagai media penyiaran memiliki kebebasan dalam menyajikan program-programnya.
Akan tetapi, kebebasan dalam penyiaran juga harus dibatasi dan diatur oleh
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sudah pasti, bagi sebagian besar
orang yang menganut paham modernitas, pembatasan tersebut dianggap sebagai
reaksi yang terlalu berlebihan. Berdasarkan dengan hasil analisis terhadap
trend yang berkembang saat ini, dapat diasumsikan bahwa jika tidak ada batasan
norma dalam penyiaran maka sedikit demi sedikit dalam beberapa tahun ke depan mindset orang-orang akan diarahkan ke
suatu pemikiran bahwa “telanjang itu fitrah kita”, “seks bebas itu sudah biasa”,
“homoseksual lazim-lazim saja”, “Tuhan itu tidak ada”, atau “Tuhan itu adalah
kita”. Benarkah itu yang kita inginkan untuk masa depan generasi muda? Hanya
kita yang mampu menjawab itu.
Secara
teknis, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk mengawal sosialisasi
pelestarian dan pengembangan nilai budaya di televisi, yakni preventif dan
represif. Metode preventif dapat dilakukan dengan membuka jalur komunikasi
terhadap lembaga penyiaran swasta agar bersedia untuk memulai program-program
yang berwawasan budaya, memberi pelatihan-pelatihan tentang materi penyiaran yang
berwawasan budaya, serta memberi teguran terhadap inkonsistensi pelaksanaan
pelestarian dan pengembangan nilai budaya.
Sementara
metode represif dapat dilakukan dengan menerapkan pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment) bagi lembaga penyiaran yang
tidak bersedia untuk ikut andil dalam program pelestarian dan pengembangan
nilai tradisional. Bentuk reward bisa
berupa penghargaan televisi dengan program berwawasan budaya atau semacamnya.
Sedangkan punishment bisa diterapkan
dengan memberikan sanksi administratif, bahkan bila perlu menutup beberapa
program tertentu yang tidak sesuai dengan fungsi televisi sebagai media
pendidikan. Tentunya, kembali lagi bahwa semua itu adalah tanggung jawab kita sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia.
[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi, diakses tanggal 29 September 2014
[2] Rating televisi adalah salah satu teknik yang
dilakukan untuk mengukur jumlah audiens yang menyaksikan program-program dengan
kategori tertentu. Secara teoritis, rating televisi dianggap linear dengan
jumlah audiens sehingga hasil pengukurannya dijadikan tolok ukur untuk suatu
kepentingan tertentu.
[3] Lihat http://rendrasyahputrablog.wordpress.com/2013/03/13/sejarah-pertelevisian-di-indonesia/, diakses tanggal 29 september 2014.
[4] Lihat http://asal-usul-motivasi.blogspot.com/2011/01/asal-mula-usul-sejarah-rcti-rajawali.html, diakses tanggal 30 september 2014.
[5] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 32
Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
[6] Lihat Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta, Hlm. 154.
[7] Lihat Sunarto, Kamanto. 2006. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: LP-FEUI, hlm. 27.
[8] Sunarto, Ibid. hlm. 33
[9] Lihat http://edwi.upnyk.ac.id/DASBRO_10.pdf, diakses tanggal 30 september 2014
[10] Lihat Etzioni dalam Sztompka, Piotr. 2004.
Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, halaman 85.
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.