Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra
![]() |
Gambar 1. Ki Heru Wirjono, MH |
Meneruskan
amanah sang soko guru menyampaikan
pelita kehidupan, beliau berangkat ke kota Medan tahun 1957 untuk mengabdi
sebagai guru di bidang seni. Masa mudanya dihabiskan beliau untuk mengajar di
berbagai sekolah negeri dan swasta, hingga akhirnya beliau menjadi Ketua di Yayasan
Perguruan Taman Siswa Medan Polonia. Selama kiprahnya dalam mengajar, beliau
telah melahirkan puluhan seniman yang berprestasi, salah satunya adalah Arfial
Arsad Hakim.
Selain sebagai guru beliau
juga dikenal sebagai pelukis dan pemahat yang monumental. Sejumlah karyanya
menghiasi sejarah perkembangan kota Medan, seperti; Patung Jenderal Ahmad Yani
yang berada tepat di persimpangan Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. Imam Bonjol,
Tugu Medan Area di Lapangan Merdeka Medan, dan Tugu Makam Pahlawan. Beliau
adalah salah satu pelestari tradisi lisan yang pernah hidup di Sumatera Utara.
![]() |
Gambar 2. Ki Heru bersama Sultan HB XII dan Bapak AKBP (Purn.) Rusbandi |
Dalam
setiap pahatan-pahatan dan goresan kuas, terselip pitutur atau kearifan-kearifan yang merepresentasikan nilai-nilai adiluhung dari budaya Jawa. Inilah yang
membuat karya-karyanya seolah hidup dan bercerita kepada setiap orang yang
melihat. Tujuannya adalah untuk mengingatkan semua orang, khususnya orang Jawa yang
lahir dan besar di Sumatera akan kearifan budaya asalnya.
Dalam
sebuah wawancara pribadi di tahun 2010, beliau bercerita bahwa banyak orang
Jawa lupa akan tradisi dan budayanya sendiri, padahal budaya mengajarkan
kebajikan dan membentuk karakter dan kepribadian bangsa. Kepribadian itulah
yang menentukan kemana arah masa depan bangsa sementara ilmu pengetahuan hanya sarana
saja. Lihat saja sekarang, banyak orang pintar namun miskin karakter. Miskin
karakter itu adalah sumber konflik. Ucap beliau sembari menyeruput teh hangat
yang tersaji di atas meja.
Bagaimana
sebenarnya gambaran karakter orang Jawa di Sumatera Utara saat ini?. Orang Jawa
di Sumatera Utara memiliki karakter yang unik. Meskipun jumlahnya mayoritas,
tapi tidak pernah mau mendominasi. Jika berkumpul dengan masyarakat yang
berbeda etnis, maka Jawa-nya hilang dan bahkan sulit dibedakan dengan orang
sekitar. Anehnya, identitas kejawaannya justru muncul jika bertemu lagi dengan
orang Jawa. Harusnya, dimana pun ia berada, identitas Jawa-nya jangan dilepas.
Harus Jawa luar-dalam. Begitu ujar beliau.
Dalam
kesehariannya, kakek sebelas cucu ini aktif di beberapa organisasi yang berkomitmen
untuk melestarikan dan merevitalisasi tradisi dan nilai-nilai budaya Jawa di
Sumatera Utara, seperti; Pinwaja dan Pujakesuma. Bersama dengan tokoh-tokoh
Jawa lainnya, seperti; AKBP (Purn.) H. Rusbandi, Prof. RM Subanindyo Hadiluwih,
dan Ir. Bob Suparno Wiranoe, beliau juga mengelola sanggar kesenian di Padepokan
Agung Tunggal Roso Nuswantoro.
Padepokan
yang berukuran 52x18x12 meter tersebut ada di Patumbak. Letaknya persis di sebelah
kediaman Bapak Rusbandi, hanya saja posisinya lebih tinggi karena dibangun di
lokasi yang berbukit. Desain arsitekturnya diadaptasi dari Joglo atau rumah tradisional etnis Jawa, relief di setiap tiang dan
ornamen atap didesain dan diproduksi sendiri oleh Ki Heru dibantu dengan
murid-muridnya. Suasana di padepokan tersebut sejuk dan asri dengan pemandangan
kolam kahuripan.
![]() |
Gambar 3. Padepokan Agung Tunggal Roso Nuswantoro |
Di padepokan
tersebut, Ki Heru bersama dengan rekan-rekannya melakukan kegiatan-kegiatan
pembinaan budaya Jawa, mulai dari tausiyah keagamaan, pagelaran kesenian musik
dan tari, seni rupa, pagelaran wayang, diskusi publik, musyawarah, jamuan, pertemuan-pertemuan,
serta aktivitas lain yang tujuannya mentransmisikan nilai-nilai agama Islam dan
tradisi Jawa. “Men-Jawakan kembali orang
Jawa saat ini lebih sulit daripada men-Jawakan orang Batak”, tutur beliau
diselingi tawa kecil.
Siapa saja yang
diperbolehkan datang ke Padepokan Agung
Tunggal Roso Nuswantoro?. Padepokan itu terbuka untuk umum. Siapa saja yang
memiliki niat baik untuk belajar tentang budaya Jawa dipersilakan untuk datang.
Ada banyak tokoh-tokoh Jawa yang dapat dijadikan sebagai narasumber atau tempat
untuk bertanya, khususnya bila yang berkunjung adalah anak muda. Orang-orang
tua akan sangat senang jika ada anak muda yang ingin belajar tentang tradisi
dan jati diri budayanya.
Lalu bagaimana
nilai-nilai budaya Jawa yang ditransmisikan di Padepokan tersebut?. Beliau
menjawab bahwa setiap orang yang datang harus menyesuaikan tindakannya sesuai
dengan pitutur atau sifat kejawaan.
Dalam berbicara misalnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa halus, sebutan anda diganti dengan anjenengan, tidak boleh mencela, sedikit
bicara dan lebih banyak mendengar, jika hendak berbicara dipikirkan terlebih
dahulu, kalau berbicara itu harus runtut, tertata, santun, lugas dan sesuai
dengan tindakan, isi pembicaraan harus baik, tepat dan bermanfaat. Beliau
melanjutkan, di padepokan tersebut juga diajarkan bahwa etos kerja orang Jawa
itu gigih, telaten, tanpa pamrih, serta pantang mengeluh. Beliau juga menegaskan,
“kalau kerja jangan hitung-hitungan dulu,
kalau sudah pintar uang yang akan datang sendiri”. Pesan yang sangat singkat
dan teknis, namun memiliki makna yang cukup mendalam.
Bagaimana jika seseorang
tidak konsisten berprilaku sesuai pitutur
di lingkungan Padepokan?. Sederhana saja, ia akan diberi teguran sehingga tidak
mengulangi kesalahannya lagi di masa yang akan datang. Tujuannya adalah agar
nilai-nilai kejawaan inheren dan
melekat kuat dalam pribadi orang tersebut sehingga nilai-nilai tersebut lestari
atau malah terkembangkan dengan sendirinya.
Apa sih pentingnya
melestarikan dan mengembangkan tradisi dan kearifan tradisional di era
globalisasi?. Era globalisasi sangat identik dengan informasi, apapun bentuknya
baik itu pengetahuan, sains, dan sebagainya. Informasi itu ibarat pacul. Bisa dimanfaatkan untuk mengolah
tanah, mencelakai orang lain atau bahkan mencelakai diri sendiri. Nah, fungsi
nilai-nilai tradisional itu membuat orang menjadi arif dan mencegahnya
menggunakan informasi untuk merugikan orang lain. Demikian ujar beliau.
Secara
teoritis, nilai-nilai tradisi yang disampaikan oleh Ki Heru dan para tokoh Jawa
di padepokan memiliki relevansi dengan konsep culture of excellent atau budaya unggul. Dalam organisasi formal
seperti perusahaan, budaya unggul dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi karyawan dari level pelaksana hingga direksi dalam mempertahankan
dan mengembangkan bisnis. Sayangnya budaya unggul dalam organisasi formal masih
mengadaptasi nilai-nilai modernisasi Barat. Belum ada organisasi formal yang menerapkan
nilai-nilai tradisional sebagai basic
value.
Penerapan
budaya unggul hasil refinasi dari nilai-nilai tradisional di Indonesia tentunya
akan membawa dampak yang luar biasa besar bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Berbagai studi di belahan dunia yang berbeda telah membuktikannya. Lihat saja
kajian Max Weber tentang etika Protestan dan modernisasi Barat, hasil penelitian
Robert N. Bellah tentang agama Tokugawa dan pengaruhnya terhadap pembangunan di
Jepang, atau temuan Wong Siu Lun tentang familiisme
dan kewiraswastaan pada masyarakat Tiongkok. Kajian-kajian mereka mengarahkan
pada kesimpulan bahwa modernisasi terjadi dengan memposisikan nilai-nilai
tradisional sebagai dasar perkembangannya. Semoga saja, success story penerapan nilai tradisional sebagai dasar
perkembangan modernisasi di Indonesia juga dapat terwujud dalam waktu dekat.
Amin.
Pria bersahaja yang
akrab disapa Pak Wir tersebut kini telah tiada. Beliau meninggal tepat satu
minggu sebelum hari raya Idul Fitri tahun 2014 lalu. Wafatnya beliau membawa
duka bagi keluarga, sahabat, dan rekan-rekan sesama pelestari tradisi dan seni
budaya Jawa. Wafatnya beliau merupakan tamparan keras bagi kaum muda, sebab
tradisi, kearifan, dan seni budaya akan punah seiring dengan waktu jika tidak
ada generasi yang melestarikannya.
Tidak banyak yang
bisa diceritakan tentang beliau dalam pertemuan yang sangat singkat, namun sepenggal
kisah dari kehidupan salah seorang anumerta pelestari budaya Jawa di Sumatera
Utara ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk tetap konsisten dalam melestarikan
nilai-nilai dan tradisi budaya bangsa. Selamat jalan Ki Heru Wirjono, selamat
jalan Sekar Gunung. Cita-cita luhurmu akan tetap kami teruskan.
(Diterbitkan oleh Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan dalam Majalah Insan Budaya No. 6 Tahun II, Desember 2014)
Maukah bapak bergabung dengan para sedulur Jawa yang lain khususnya yang dari Suriname, Kaledonia Baru, Singapura dan Malaysia? Mereka akan mengadakan konferensi tentang migrasi orang Jawa ke negeri mereka dan bagaimana anak muda Jawa sekarang di negeri mereka coba melestarikan adat dan budaya.
ReplyDeleteKalau mau tahu lebih lanjut dan mau bergabung di acara tanggal 15 - 16 Agustus di Jogja, silakan ke javanesediaspora.wordpress.com atau ke facebook di https://www.facebook.com/groups/JavaneseDiasporaEvent/