Wednesday, 8 April 2015

Pelestari Budaya Jawa di Sumatera Utara itu Bernama Ki Heru Wirjono



Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra

Gambar 1. Ki Heru Wirjono, MH
Sifatnya penyabar dan setia kawan. Tutur katanya lemah lembut, namun tegas dan keras kepala bila berbicara tentang prinsip dan idealisme. Setiap kata yang terucap dari bibirnya lambat dan teratur. Matanya berkantung, tanda bahwa ia lebih sedikit tidur dan lebih banyak berkarya. Beliau adalah Sekar Gunung atau Ki Heru Wirjono, MH. Namanya mungkin sudah tidak asing lagi bagi keturunan warga Jawa yang lahir di Sumatera. Pria sederhana kelahiran Wonosari 22 Februari 1934 itu adalah murid langsung dari Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional yang populer dengan semboyan ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani-nya.


            Meneruskan amanah sang soko guru menyampaikan pelita kehidupan, beliau berangkat ke kota Medan tahun 1957 untuk mengabdi sebagai guru di bidang seni. Masa mudanya dihabiskan beliau untuk mengajar di berbagai sekolah negeri dan swasta, hingga akhirnya beliau menjadi Ketua di Yayasan Perguruan Taman Siswa Medan Polonia. Selama kiprahnya dalam mengajar, beliau telah melahirkan puluhan seniman yang berprestasi, salah satunya adalah Arfial Arsad Hakim.
Selain sebagai guru beliau juga dikenal sebagai pelukis dan pemahat yang monumental. Sejumlah karyanya menghiasi sejarah perkembangan kota Medan, seperti; Patung Jenderal Ahmad Yani yang berada tepat di persimpangan Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. Imam Bonjol, Tugu Medan Area di Lapangan Merdeka Medan, dan Tugu Makam Pahlawan. Beliau adalah salah satu pelestari tradisi lisan yang pernah hidup di Sumatera Utara.

Gambar 2. Ki Heru bersama Sultan HB XII dan Bapak AKBP (Purn.) Rusbandi
            Dalam setiap pahatan-pahatan dan goresan kuas, terselip pitutur atau kearifan-kearifan yang merepresentasikan nilai-nilai adiluhung dari budaya Jawa. Inilah yang membuat karya-karyanya seolah hidup dan bercerita kepada setiap orang yang melihat. Tujuannya adalah untuk mengingatkan semua orang, khususnya orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatera akan kearifan budaya asalnya.

            Dalam sebuah wawancara pribadi di tahun 2010, beliau bercerita bahwa banyak orang Jawa lupa akan tradisi dan budayanya sendiri, padahal budaya mengajarkan kebajikan dan membentuk karakter dan kepribadian bangsa. Kepribadian itulah yang menentukan kemana arah masa depan bangsa sementara ilmu pengetahuan hanya sarana saja. Lihat saja sekarang, banyak orang pintar namun miskin karakter. Miskin karakter itu adalah sumber konflik. Ucap beliau sembari menyeruput teh hangat yang tersaji di atas meja.

            Bagaimana sebenarnya gambaran karakter orang Jawa di Sumatera Utara saat ini?. Orang Jawa di Sumatera Utara memiliki karakter yang unik. Meskipun jumlahnya mayoritas, tapi tidak pernah mau mendominasi. Jika berkumpul dengan masyarakat yang berbeda etnis, maka Jawa-nya hilang dan bahkan sulit dibedakan dengan orang sekitar. Anehnya, identitas kejawaannya justru muncul jika bertemu lagi dengan orang Jawa. Harusnya, dimana pun ia berada, identitas Jawa-nya jangan dilepas. Harus Jawa luar-dalam. Begitu ujar beliau.
       
       Dalam kesehariannya, kakek sebelas cucu ini aktif di beberapa organisasi yang berkomitmen untuk melestarikan dan merevitalisasi tradisi dan nilai-nilai budaya Jawa di Sumatera Utara, seperti; Pinwaja dan Pujakesuma. Bersama dengan tokoh-tokoh Jawa lainnya, seperti; AKBP (Purn.) H. Rusbandi, Prof. RM Subanindyo Hadiluwih, dan Ir. Bob Suparno Wiranoe, beliau juga mengelola sanggar kesenian di Padepokan Agung Tunggal Roso Nuswantoro.

            Padepokan yang berukuran 52x18x12 meter tersebut ada di Patumbak. Letaknya persis di sebelah kediaman Bapak Rusbandi, hanya saja posisinya lebih tinggi karena dibangun di lokasi yang berbukit. Desain arsitekturnya diadaptasi dari Joglo atau rumah tradisional etnis Jawa, relief di setiap tiang dan ornamen atap didesain dan diproduksi sendiri oleh Ki Heru dibantu dengan murid-muridnya. Suasana di padepokan tersebut sejuk dan asri dengan pemandangan kolam kahuripan.

Gambar 3. Padepokan Agung Tunggal Roso Nuswantoro
Di padepokan tersebut, Ki Heru bersama dengan rekan-rekannya melakukan kegiatan-kegiatan pembinaan budaya Jawa, mulai dari tausiyah keagamaan, pagelaran kesenian musik dan tari, seni rupa, pagelaran wayang, diskusi publik, musyawarah, jamuan, pertemuan-pertemuan, serta aktivitas lain yang tujuannya mentransmisikan nilai-nilai agama Islam dan tradisi Jawa. “Men-Jawakan kembali orang Jawa saat ini lebih sulit daripada men-Jawakan orang Batak”, tutur beliau diselingi tawa kecil.

Siapa saja yang diperbolehkan datang  ke Padepokan Agung Tunggal Roso Nuswantoro?. Padepokan itu terbuka untuk umum. Siapa saja yang memiliki niat baik untuk belajar tentang budaya Jawa dipersilakan untuk datang. Ada banyak tokoh-tokoh Jawa yang dapat dijadikan sebagai narasumber atau tempat untuk bertanya, khususnya bila yang berkunjung adalah anak muda. Orang-orang tua akan sangat senang jika ada anak muda yang ingin belajar tentang tradisi dan jati diri budayanya.

Lalu bagaimana nilai-nilai budaya Jawa yang ditransmisikan di Padepokan tersebut?. Beliau menjawab bahwa setiap orang yang datang harus menyesuaikan tindakannya sesuai dengan pitutur atau sifat kejawaan. Dalam berbicara misalnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa halus, sebutan anda diganti dengan anjenengan, tidak boleh mencela, sedikit bicara dan lebih banyak mendengar, jika hendak berbicara dipikirkan terlebih dahulu, kalau berbicara itu harus runtut, tertata, santun, lugas dan sesuai dengan tindakan, isi pembicaraan harus baik, tepat dan bermanfaat. Beliau melanjutkan, di padepokan tersebut juga diajarkan bahwa etos kerja orang Jawa itu gigih, telaten, tanpa pamrih, serta pantang mengeluh. Beliau juga menegaskan, “kalau kerja jangan hitung-hitungan dulu, kalau sudah pintar uang yang akan datang sendiri”. Pesan yang sangat singkat dan teknis, namun memiliki makna yang cukup mendalam.

Bagaimana jika seseorang tidak konsisten berprilaku sesuai pitutur di lingkungan Padepokan?. Sederhana saja, ia akan diberi teguran sehingga tidak mengulangi kesalahannya lagi di masa yang akan datang. Tujuannya adalah agar nilai-nilai kejawaan inheren dan melekat kuat dalam pribadi orang tersebut sehingga nilai-nilai tersebut lestari atau malah terkembangkan dengan sendirinya.

Apa sih pentingnya melestarikan dan mengembangkan tradisi dan kearifan tradisional di era globalisasi?. Era globalisasi sangat identik dengan informasi, apapun bentuknya baik itu pengetahuan, sains, dan sebagainya. Informasi itu ibarat pacul. Bisa dimanfaatkan untuk mengolah tanah, mencelakai orang lain atau bahkan mencelakai diri sendiri. Nah, fungsi nilai-nilai tradisional itu membuat orang menjadi arif dan mencegahnya menggunakan informasi untuk merugikan orang lain. Demikian ujar beliau.
          
             Secara teoritis, nilai-nilai tradisi yang disampaikan oleh Ki Heru dan para tokoh Jawa di padepokan memiliki relevansi dengan konsep culture of excellent atau budaya unggul. Dalam organisasi formal seperti perusahaan, budaya unggul dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi karyawan dari level pelaksana hingga direksi dalam mempertahankan dan mengembangkan bisnis. Sayangnya budaya unggul dalam organisasi formal masih mengadaptasi nilai-nilai modernisasi Barat. Belum ada organisasi formal yang menerapkan nilai-nilai tradisional sebagai basic value.

          Penerapan budaya unggul hasil refinasi dari nilai-nilai tradisional di Indonesia tentunya akan membawa dampak yang luar biasa besar bagi pembangunan dan kemajuan bangsa. Berbagai studi di belahan dunia yang berbeda telah membuktikannya. Lihat saja kajian Max Weber tentang etika Protestan dan modernisasi Barat, hasil penelitian Robert N. Bellah tentang agama Tokugawa dan pengaruhnya terhadap pembangunan di Jepang, atau temuan Wong Siu Lun tentang familiisme dan kewiraswastaan pada masyarakat Tiongkok. Kajian-kajian mereka mengarahkan pada kesimpulan bahwa modernisasi terjadi dengan memposisikan nilai-nilai tradisional sebagai dasar perkembangannya. Semoga saja, success story penerapan nilai tradisional sebagai dasar perkembangan modernisasi di Indonesia juga dapat terwujud dalam waktu dekat. Amin.

Pria bersahaja yang akrab disapa Pak Wir tersebut kini telah tiada. Beliau meninggal tepat satu minggu sebelum hari raya Idul Fitri tahun 2014 lalu. Wafatnya beliau membawa duka bagi keluarga, sahabat, dan rekan-rekan sesama pelestari tradisi dan seni budaya Jawa. Wafatnya beliau merupakan tamparan keras bagi kaum muda, sebab tradisi, kearifan, dan seni budaya akan punah seiring dengan waktu jika tidak ada generasi yang melestarikannya.

           Tidak banyak yang bisa diceritakan tentang beliau dalam pertemuan yang sangat singkat, namun sepenggal kisah dari kehidupan salah seorang anumerta pelestari budaya Jawa di Sumatera Utara ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk tetap konsisten dalam melestarikan nilai-nilai dan tradisi budaya bangsa. Selamat jalan Ki Heru Wirjono, selamat jalan Sekar Gunung. Cita-cita luhurmu akan tetap kami teruskan.
 (Diterbitkan oleh Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan dalam Majalah Insan Budaya No. 6 Tahun II, Desember 2014)

1 comment:

  1. Maukah bapak bergabung dengan para sedulur Jawa yang lain khususnya yang dari Suriname, Kaledonia Baru, Singapura dan Malaysia? Mereka akan mengadakan konferensi tentang migrasi orang Jawa ke negeri mereka dan bagaimana anak muda Jawa sekarang di negeri mereka coba melestarikan adat dan budaya.

    Kalau mau tahu lebih lanjut dan mau bergabung di acara tanggal 15 - 16 Agustus di Jogja, silakan ke javanesediaspora.wordpress.com atau ke facebook di https://www.facebook.com/groups/JavaneseDiasporaEvent/

    ReplyDelete

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive