Kampung Nipah: Modal
Sosial dan Pengembangan Desa Wisata Partisipatif
Oleh: Dharma Kelana
Putra
(Dipublikasikan pada Buletin HABA No. 76 Tahun 2015, BPNB Banda Aceh)
Pendahuluan
Mulai dari Sabang hingga Merauke,
persoalan yang membelit masyarakat pesisir di Indonesia umumnya adalah
kemiskinan. Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa masyarakat pesisir,
khususnya nelayan tetap berada dalam kondisi miskin, antara lain: keterbatasan
modal usaha yang menyulitkan nelayan meningkatkan skala kegiatan ekonomi
perikanannya; rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan yang
menyulitkan peningkatan kualitas hidup; relasi sosial-ekonomi yang bersifat
eksploitatif dengan pemilik kapal ataupun pedagang perantara (tengkulak); serta adanya masalah isolasi
geografis desa nelayan yang menyulitkan keluar-masuk barang, jasa, modal, dan
manusia[1].
Beragam program pembangunan telah dilaksanakan
oleh pemerintah untuk membuat kehidupan masyarakat di desa-desa pesisir lebih
sejahtera, seperti; memberikan bantuan alat tangkap kepada nelayan[2],
membangun sarana dan prasarana transportasi yang memadai, bantuan dana
bergulir, bantuan perumahan[3], dan
sebagainya. Tetapi bantuan-bantuan yang diberikan hanya berdampak pada golongan
tertentu saja, tidak semua memperoleh manfaat yang sama sehingga ketimpangan
masih terlihat dengan jelas. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat pesisir cukup kompleks dan rumit.
Kompleksitas permasalahan yang menerpa seringkali
membuat masyarakat pesisir terlihat pasrah, tidak kreatif dan tidak berdaya.
Sebenarnya mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk merubah nasib,
hanya saja mereka belum menyadari potensi itu. Mereka membutuhkan pendampingan,
pengarahan, dan pengorganisasian yang baik melalui program pemberdayaan yang
tepat, sehingga mereka mampu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mengatasi
persoalan yang menerpa.
Sejak akhir 2012 lalu, muncul objek
wisata baru di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang
Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Objek wisata ini bernama Wisata Mangrove Kampoeng
Nipah. Tidak seperti objek wisata lain yang ada di sepanjang wilayah pesisir
pantai timur Sumatera Utara, objek wisata ini merupakan satu-satunya yang berhasil
dikelola oleh masyarakat secara swadaya dan terorganisir di bawah bendera Koperasi
Serba Usaha (KSU) Muara Baimbai[4].
Keberhasilan ini disebabkan karena mereka memanfaatkan potensi modal sosial
yang ada secara optimal dalam pengelolaannya.
Masyarakat sebagai anggota dianggap
sebagai pemilik dan diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Artinya
tidak ada pembagian lahan secara spesifik untuk tiap-tiap anggota Koperasi.
Mulai dari pembangunan fasilitas, penetapan tarif, serta kegiatan yang sifatnya
teknis operasional diputuskan secara musyawarah dalam rapat anggota dan
pengurus.
Secara teoritis, pengelolaan yang mereka lakukan mengarah
pada bentuk desa wisata partisipatif. Konsep desa wisata partisipatif ini
merujuk pada model Community Based Tourism
(CBT), yakni; 1) bentuk
pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk
mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan
pembangunan pariwisata; 2) masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam
usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan; 3) menuntut
pemberdayaan secara politis dan demokratis dan
distribusi keuntungan kepada komunitas yang
kurang beruntung di pedesaan[5].
Idealnya, pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat merupakan suatu bentuk model pemberdayaan yang dapat diterapkan di
desa-desa lain dengan karakteristik yang hampir sama. Asumsinya adalah,
terdapat potensi modal sosial dengan intensitas yang sama dalam kesamaan
karakteristik tersebut. Berangkat dari hal itu, tulisan ini akan mengulas
tentang bagaimana peranan modal sosial sebagai elemen penting dalam
keberhasilan pemberdayaan masyarakat, khususnya di wilayah desa pesisir.
Pembahasan dan
Analisis
1. Sejarah Berdirinya
Objek Wisata Hutan Mangrove
Pendirian Objek Wisata Mangrove
Kampoeng Nipah ini memiliki sejarah yang cukup panjang, diawali pasca tsunami Aceh yakni sekitar tahun 2005. Pada
waktu itu, seluruh jajaran pemerintah daerah di Sumatera Utara yang memiliki
wilayah pesisir mulai memperhatikan hutan bakau sebagai benteng alami untuk
mengurangi dampak hempasan ombak ke darat. Salah satu daerah tersebut adalah
Kabupaten Serdang Bedagai.
Persoalan tanaman bakau waktu itu sempat
menjadi topik yang hangat diperbincangkan, sebab kondisinya di sepanjang
wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai masuk dalam kategori mengkhawatirkan[6].
Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya; penggunaan
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh komunitas nelayan yang sudah
terjadi selama beberapa generasi[7],
pembukaan lahan tambak secara massive
(sebagian besar sudah ditelantarkan begitu saja tanpa penghijauan kembali)[8],
penebangan hutan bakau untuk kebutuhan kayu bakar, dan lain sebagainya.
Beragam program dilakukan dalam
upaya menghijaukan kembali daerah pesisir Serdang Bedagai, salah satunya adalah
dengan mengajak dan melibatkan masyarakat untuk menanam dan memelihara tanaman
bakau. Beberapa lembaga yang aktif memberikan pendampingan kepada masyarakat
adalah LSM JALA, Fakultas Pertanian USU, Yayasan Kekar Tebing Tinggi, dan Balai
pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM)[9].
Alhasil, dalam kurun waktu delapan tahun beberapa kawasan konservasi kembali
dihijaukan dengan tanaman bakau.
Selama kurun waktu delapan tahun
proses penghijauan kawasan pesisir tersebut banyak menuai protes dari berbagai
kalangan, mulai dari masyarakat yang belum sadar tentang arti penting hutan bakau, resistensi dari
pengusaha tambak dan peternakan ayam, hingga kalangan pengusaha perikanan
rakyat (tauke) yang menganggap
penghasilannya berkurang karena banyak nelayan yang tidak melaut dan lebih
memilih menanam bakau[10].
Padahal, tanaman bakau itu sendiri dapat membawa dampak yang signifikan
terhadap peningkatan penghasilan para pengusaha secara tidak langsung.
Sangat disayangkan, program tersebut hanya
berhasil di beberapa kawasan saja dan tidak menyeluruh di wilayah pesisir
Kabupaten Serdang Bedagai. Kesadaran, kepedulian, dan keterlibatan masyarakat
menjadi faktor penentu keberhasilan dari program ini. Andai saja waktu itu seluruh
masyarakat dapat berpartisipasi aktif, maka saat ini seluruh kawasan konservasi
hutan bakau di Kabupaten Serdang Bedagai sudah kembali hijau.
Di Desa Sei Nagalawan sendiri,
keberhasilan penghijauan hutan bakau juga tidak lepas dari konflik-konflik
kepentingan. Berawal dari semakin banyaknya nelayan yang terbebas dari jerat
hutang para tauke, sampai perebutan
hak pengelolaan hutan bakau sebagai tempat wisata oleh kelompok masyarakat
Dusun III (Kampung Nipah) Sei Nagalawan yang tergabung dalam KSU Muara Baimbai dengan
salah seorang pengusaha lokal. Konflik terjadi dalam kurun waktu yang hampir
bersamaan. Intensitas konflik terbilang cukup tinggi, tetapi tidak sampai
diekspresikan dalam bentuk fisik yang ekstrim.
Bentuk konflik yang pertama,
beberapa tauke yang memiliki tangkahan[11] merasa
tidak senang karena penghasilan mereka menurun. Penurunan penghasilan ini terjadi
karena semakin banyak nelayan yang tidak lagi terikat hutang kepada tauke. Penyebabnya adalah KSU Muara Baimbai
yang diketuai oleh Bapak Sutrisno melakukan penyadaran terhadap nelayan tentang
bagaimana mengelola keuangan, bagaimana memiliki alat tangkap sendiri,
bagaimana cara agar tidak bergantung pada hutang, dan memberikan akses terhadap
harga jual ikan yang aktual melalui kelompok nelayan yang mereka kelola. Kelompok
ini juga yang sebelumnya menjadi motor penggerak penghijauan pesisir pantai
dengan penanaman bakau di desa tersebut. Akibatnya, satu persatu nelayan di
Desa Sei Nagalawan menjadi lebih arif dan mampu melepaskan diri mereka dari
jeratan tauke.
Tanpa adanya bentuk keterikatan, nelayan memiliki
posisi tawar yang lebih tinggi kepada tauke.
Tanpa relasi yang mengikat, para tauke tidak dapat memaksakan harga jual
mereka kepada nelayan, selain itu nelayan juga bebas menjual kepada tauke manapun yang membeli ikan mereka
dengan harga tinggi. Jika hal ini terjadi, maka keadaan akan berbalik. Para tauke akan bersaing memberikan penawaran
tertinggi kepada nelayan. Tauke yang
masih bertahan memberikan penawaran rendah tidak akan mendapatkan ikan karena
di black list oleh nelayan. Artinya,
tidak akan ada perputaran uang karena tidak ada penjualan ikan. Tidak ada perputaran uang sama
dengan tidak ada perolehan keuntungan.
Untuk dua atau tiga bulan, beberapa tauke mungkin akan bertahan karena
memiliki sumber daya finansial yang cukup kuat. Tetapi jika kondisi ini terus
berlanjut, mereka akan terancam gulung tikar karena terus-menerus terkena denda
(penalty) akibat target ikan dari
eksportir yang tidak terpenuhi, serta harus membayar hutang usaha kepada pihak
Bank setiap bulannya. Konflik ini sempat meruncing dan sampai ke lingkungan
pemerintah kabupaten, tetapi karena dukungan yang kuat dari masyarakat, para tauke terpaksa mengelus dada karena
harus menjalankan bisnis mereka secara fair.
Konflik kedua adalah perebutan hak
pengelolaan hutan bakau sebagai tempat wisata oleh KSU Muara Baimbai dengan seorang
pengusaha lokal. Konflik berawal ketika kelompok masyarakat di Kampung Nipah
mulai membuka areal hutan bakau sebagai objek wisata. Tingginya traffic pengunjung dilihat oleh
pengusaha tersebut sebagai kesempatan mendulang emas.
Beberapa upaya sempat dilakukan oleh pengusaha
tersebut untuk mengalihkan pengelolaan hutan bakau dari kelompok masyarakat
Dusun III kepada dirinya, namun hal itu mengalami kegagalan karena secara adat keterikatan
kelompok masyarakat dengan lahan tersebut sangat kuat. Kemudian, mereka juga
tidak setuju jika lahan yang telah mereka hijaukan dikelola secara pribadi oleh
orang yang tidak pernah ada saat proses penghijauan itu berlangsung, apalagi
dalam pengelolaan tempat wisata tersebut masyarakat hanya dijadikan sebagai
pekerja bukan sebagai pemilik bersama.
Konflik tersebut juga sampai ke lingkungan
pemerintah di tingkat kabupaten, tetapi karena pengelolaan kelompok dianggap
lebih bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, maka hak pengelolaan jatuh ke
tangan kelompok masyarakat yang tergabung dalam KSU Muara Baimbai. Sintesa dari
konflik tersebut, sang pengusaha memilih menjadi kompetitor dengan membuka
objek wisata baru di sebelah Objek Wisata Mangrove Kampung Nipah dengan mempekerjakan
masyarakat sekitar sampai saat ini.
2. Modal Sosial dan Pengembangan
Community Based Tourism
Sebagaimana yang telah diulas bahwa
keberhasilan penerapan community based
tourism (CBT) di Dusun III Desa Sei Nagalawan adalah karena memanfaatkan
potensi modal sosial yang ada pada masyarakat secara optimal. CBT secara
sederhana merupakan bentuk pemberdayaan komunitas setempat melalui program
pengembangan pariwisata yang dikelola secara swadaya oleh mereka sendiri.
Definisi lebih mendalam dikemukakan oleh Yayasan Pachamama di Ecuador yang mendefinisikan CBT sebagai bentuk pariwisata dimana
para turis diperkenalkan dengan adat-istiadat, makanan, gaya hidup, dan sistem
kepercayaan komunitas setempat. Komunitas
ini mengelola baik dampak dan manfaat dari pariwisata
ini, sembari menguatkan sistem kemasyarakatan mereka sendiri, sumber ekonomi
alternatif, dan cara-cara hidup
tradisional dalam prosesnya[12].
Karakteristik kunci
dari CBT adalah kepemimpinan lokal, kesadaran kelompok, identitas,
keberlanjutan, dan internalisasi nilai budaya. Karakteristik tersebut merupakan
bentuk potensi modal sosial yang ada di dalam suatu komunitas. Dalam
kajian sosiologis, modal sosial didefinisikan sebagai hubungan sosial
antarindividu maupun antarkelompok yang dapat digunakan untuk menghasilkan
sesuatu yang bernilai lain untuk melakukan kerjasama demi mencapai tujuan atau
kepentingan bersama[13]. Lebih
lanjut, Lubis[14]
mengatakan bahwa modal sosial sekurang-kurangnya memiliki tiga elemen penting,
antara lain:
a.
Sikap Saling Percaya
(trust), yang meliputi; kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi, dan
kemurahan hati (generousity).
b.
Jaringan Sosial, yang
meliputi; partisipasi, pertukaran timbal-balik (resiprositas), solidaritas,
kerjasama, dan keadilan (equity).
c.
Institusi (pranata),
yang meliputi; nilai-nilai yang dianut bersama (shared value), norma dan sanksi, serta aturan-aturan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Badaruddin menunjukkan
bahwa modal sosial dapat digunakan sebagai alternatif untuk mereduksi
(mengurangi) kemiskinan pada komunitas nelayan kecil[15]. Modal
sosial inilah yang dimanfaatkan untuk meyakinkan, menyatukan, dan mengarahkan
sebuah komunitas sehingga mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya mampu
mematahkan mitos, berdaya, dan mencapai kesejahteraan kolektif.
Untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan
seorang inisiator yang memiliki pengaruh dan track record baik dalam masyarakat. Inisiator ini merupakan
prasyarat bagi terwujudnya sebuah kepemimpinan lokal (indigenous leadership). Inisiator ini yang memiliki peran sentral dan
memiliki kapasitas untuk membentuk dimensi modal sosial yang mengikat (bonding) anggota di dalam kelompok,
menjembatani (bridging) hubungan
antarkelompok, serta mengaitkan (linking)
kelompok dengan sumber daya penting yang berada di luar mereka (pemegang
kekuasaan)[16].
Inisiator dalam kasus Wisata Mangrove Kampoeng Nipah adalah pasangan suami-istri
Bapak Sutrisno dan Ibu Jumiati.
Pada masa-masa awal penghijauan kawasan pesisir di
Kabupaten Serdang Bedagai, mereka berusaha keras untuk meyakinkan masyarakat
Kampung Nipah bahwa tanaman bakau dapat merubah nasib mereka di masa yang akan
datang. Mereka mulai dari ikatan yang terdekat, seperti keluarga, sahabat, dan
tetangga. Bapak Sutrisno melakukan pendekatan kepada para kaum pria yang
sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, sementara Ibu Jumiati melakukan
pendekatan pada kaum perempuan dengan membentuk Kelompok Perempuan Muara Tanjung.
Bapak Sutrisno menawarkan isu memutus ketergantungan terhadap tauke, sementara Ibu Jumiati menawarkan
gagasan home industry pengolahan
pangan dari daun jeruju (sejenis bakau) untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan. Awalnya ide ini dianggap tidak
masuk akal[17],
tetapi lama-kelamaan sikap saling percaya mulai mulai tumbuh diantara mereka.
Secara teoritis, sikap saling percaya (trust) merupakan salah satu elemen inti[18]
terbentuknya modal sosial di masyarakat. Oleh Fukuyama[19], trust didefinisikan sebagai harapan yang
tumbuh di dalam masyarakat, yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur,
teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Trust memungkinkan orang-orang yang
tidak saling mengenal dapat bekerjasama dengan baik untuk tujuan bersama.
Dengan memanfaatkan trust yang telah terbangun, pasangan
Sutrisno dan Jumiati mulai menjalankan misi mereka. Bersama beberapa anggota
masyarakat Kampung Nipah, mereka membentuk KSU Muara Baimbai. Melalui koperasi
ini satu persatu, nelayan dilepaskan dari jerat hutang tauke dan ditarik menjadi anggota Koperasi mereka. Seluruh anggota
koperasi yang berjumlah 70 rumah tangga didorong untuk memiliki tabungan
sendiri. Mereka juga diberdayakan dalam berbagai bidang usaha yang digeluti
oleh Koperasi, khususnya pariwisata dan UKM.
Melalui aktivitas yang mereka lakukan,
terbentuklah model kerjasama kolektif (kolaborasi). Orientasinya bukan untuk
memperkaya diri sendiri, tetapi mencapai kesejahteraan bersama. Mereka juga
membuka diri untuk menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga lain dalam hal
pemberian pelatihan-pelatihan di berbagai bidang, seperti; kepemimpinan,
wirausaha, dan kepariwisataan.
Hasil dari proses panjang tersebut
terlihat sangat jelas, Objek Wisata Mangrove Kampoeng Nipah dikelola secara
rapi dan terorganisir dengan baik. Sebelum jam operasional objek wisata
dimulai, mereka melakukan briefing pagi tentang apa yang harus dilakukan,
termasuk di dalamnya mendata anggota yang bekerja pada hari itu serta pembagian
peran. Briefing dilakukan untuk menyelaraskan peran dan tanggung jawab
masing-masing anggota. Ini dilakukan karena setiap hari anggota bekerja secara
bergantian. Hanya beberapa orang saja yang terlihat ada setiap hari, karena
mereka memegang peranan sebagai pengurus. Urgensi pendataan jumlah anggota yang
bekerja pada hari itu terkait dengan bagi hasil pada malam hari, itu sebabnya
mereka melakukannya dengan konsisten.
Selama jam operasional berlangsung,
mereka menggunakan handy talky (HT)
untuk mempermudah koordinasi. Dengan bantuan teknologi ini, petugas parkir
dapat berkoordinasi kepada penanggung jawab ketika ada tamu khusus yang datang
berkunjung, menghubungi juru masak ketika ada pesanan makanan dari pengunjung
yang tengah menikmati suasana tepi pantai, menginformasikan kehilangan, mengontak
pengolahan snack ketika stock di
kantin sudah menipis, serta menyampaikan bentuk informasi lainnya.
Semua orang mulai dari petugas
parkir dan juru masak, bersikap sangat ramah kepada seluruh pengunjung. Ini
membuktikan bahwa mereka sudah memahami paradigma Sadar Wisata[20]
yang menekankan pada Sapta Pesona, yakni; aman, tertib, bersih, sejuk, indah,
ramah-tamah, dan kenangan. Agaknya, mereka telah memahami bahwa penghasilan
mereka dipengaruhi oleh keberlangsungan objek wisata. Keberlangsungan objek
wisata itu sendiri dipengaruhi oleh traffic
pengunjung. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung, maka semakin besar uang
yang mereka peroleh.
Dalam hal pemasaran, mereka juga telah
melakukannya seperti seorang profesional. Ada beberapa strategi yang diterapkan
untuk memasarkan Objek Wisata Mangrove Kampoeng Nipah, diantaranya adalah;
media cetak, televisi, radio lokal, internet, dan (disadari atau tidak) strategi
pemasaran mulut ke mulut (word of mouth)[21]
yang masih fenomenal dalam dunia pemasaran. Strategi-strategi yang diterapkan
melibatkan pemanfaatan jaringan sosial dalam skala yang sangat luas, sehingga
biaya pemasaran dapat direduksi dan pemanfaatan sumber daya finansial menjadi
lebih efisien.
Strategi pemasaran dari mulut ke
mulut memanfaatkan manajemen kesan dalam pelaksanaannya. Kesan yang diciptakan
pada kasus ini terjadi secara alami, yakni karena perlakuan baik masyarakat
Kampung Nipah kepada seluruh wisatawan. Secara sederhana, wisatawan yang pernah
berkunjung akan menceritakan kesan mereka selama berlibur di satu objek wisata.
Kesan itu akan diceritakan kepada rekan mereka dengan penuh semangat, orang-orang yang terprovokasi akan
merasa penasaran dan akhirnya berkunjung ke tempat yang diceritakan. Mereka pun
akan menceritakan kembali kesan yang mereka dapatkan selama berlibur kepada
rekan mereka yang lain, begitulah seterusnya. Hasilnya, Fantastis. Objek Wisata
Mangrove Kampoeng Nipah jarang sekali sepi dari pengunjung, baik hari biasa
maupun hari libur.
Satu hal yang perlu diwaspadai dari
strategi pemasaran ini adalah faktor eksternal yang tidak terduga. Bisa saja
dengan munculnya pihak lain yang melakukan pungutan parkir liar dengan tidak
ramah terhadap pengunjung, sarana dan prasarana transportasi yang kurang baik,
tindakan pencurian atau pemalakan yang pernah terjadi di sekitar Desa Sei
Nagalawan, dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor ini dapat menimbulkan kesan buruk yang
akan diceritakan oleh wisatawan kepada rekan-rekan mereka sepulangnya dari
Objek Wisata Mangrove Kampoeng Nipah. Semoga ini dapat diantisipasi dengan
baik.
Penataan pondok dan fasilitas lainnya terbilang
apik. Jarak antara pondok yang satu dengan yang lain cukup jauh dan memberi privasi
bagi penyewanya. Pengunjung masih masih bisa melihat laut dari jarak 30 meter
dari bibir pantai. Berbeda halnya dengan objek wisata lain yang dikelola oleh
masyarakat secara pribadi dengan pembagian lahan tertentu. Pondok-pondok
bersusun rapat, di belakang masing-masing pondok terdapat warung, di belakang
warung terdapat kamar mandi umum. Di belakang kamar mandi umum terdapat tempat
parkir. Jika pengunjung parkir di lokasi milik salah seorang pengelola, maka ia wajib
menyewa pondok dan membeli makanan dari warung yang bersangkutan dan lain
sebagainya. Pengelolaan seperti ini terkesan semrawut dan tidak tertata dengan
baik. Pengunjung kurang merasa nyaman karena tidak memiliki privasi, pengunjung
tidak bisa memilih menu makanan yang ia sukai, dan potensi konflik antar sesama
pengelola juga cukup
tinggi jika dilihat dari persaingan dalam mendapatkan pengunjung.
Untuk bagi hasil, biasanya dilakukan
pada malam hari atau setelah jam operasional berakhir. Bagi hasil ini didasarkan
atas prinsip kesalingpercayaan (trust),
yakni; kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi, dan
kemurahan hati (generousity). Bagi
hasil dilakukan dengan menghitung secara bersama-sama seluruh pendapatan
Koperasi, baik dari penjualan ikan, penjualan snack dan makanan, tiket masuk,
parkir, dan pendapatan lainnya.
Dari pendapatan tersebut disisihkan sebagian untuk
kas Koperasi, untuk menutupi modal dan barang habis pakai (jika ada), untuk
investasi dan pembangunan fasilitas objek wisata, kemudian dibagi secara adil
kepada seluruh anggota yang bekerja pada hari itu. Mekanisme pembagian seperti
ini sangat transparan, karena setiap anggota bertanggung jawab mengelola bagiannya
masing-masing tanpa intervensi dari
siapapun. Penghasilan yang mereka peroleh juga diketahui oleh anggota lain,
sehingga potensi konflik yang muncul karena kecemburuan sosial dapat dihindari.
Penutup
Apa yang telah dilakukan oleh KSU Muara Baimbai
dalam pengelolaan Objek Wisata Mangrove Kampoeng Nipah merupakan success story model pengembangan desa
wisata partisipatif. Kesuksesan ini membuktikan bahwa masyarakat pesisir masih
mampu diarahkan untuk mencapai kesejahteraan kolektif. Hanya saja, itu
membutuhkan waktu yang cukup lama dan pendekatan yang lebih membumi. Ibarat sebuah pohon, menumbuhkan akarnya relatif lama,
tapi ketika ia besar akan mengakar kuat dan memberi manfaat bagi pemiliknya.
Pemerintah daerah sebaiknya tanggap akan situasi
dan mendukung sepenuhnya model pemberdayaan masyarakat seperti ini, baik dengan
cara menerapkan model yang sama pada desa yang lain atau menerapkan model baru
yang dianggap lebih efektif. Tujuannya adalah untuk mempermudah pemerintah daerah
dalam menerapkan program-program pembangunan yang tepat guna dan bermanfaat
bagi masyarakat. Jika masyarakat sudah berdaya, maka pemerintah tidak perlu
pusing memikirkan apa yang harus dilakukan, sebab segala permasalahan sudah
dapat dipecahkan sendiri oleh masyarakat. Tentunya, masyarakat yang berdaya
akan mendukung terbentuknya pemerintahan daerah yang kuat.
Mengingat bahwa daerah pesisir Aceh dan Sumatera
Utara memiliki karakteristik masyarakat yang tidak jauh berbeda, potensi modal
sosial yang ada juga dapat dipastikan memiliki kesamaan. Jika memang benar
demikian, tidak tertutup kemungkinan model pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat di Objek Wisata Mangrove Kampoeng Nipah juga dapat diterapkan di
kawasan pesisir Aceh. Mempertimbangkan kondisi geografis di wilayah pesisir
Aceh yang berhadapan langsung dengan samudera, kemungkinan besar manfaat yang akan
diperoleh masyarakat Aceh akan jauh lebih besar dari masyarakat di Kampung
Nipah.
Meski begitu, pengembangan desa wisata partisipatif
ini sangat rentan dan dapat dengan mudah mengalami kegagalan dalam prosesnya,
terutama jika pengurusnya tidak mampu memelihara modal sosial yang sudah
terbangun. Godaan berbentuk kepentingan-kepentingan terselubung yang
berorientasi pada keuntungan pribadi selalu mengintai ketika suatu upaya mulai
memperlihatkan keberhasilan. Jika kepentingan terselubung ini menjangkiti pengurusnya,
maka semua upaya yang telah dilakukan akan menjadi sia-sia. Alih-alih
kesejahteraan bersama dapat diwujudkan, satu persatu masyarakat akan
meninggalkan kelompok mereka. Kelompok yang sudah terbentuk pun akan mati
seperti lembaga-lembaga lain yang telah mendahuluinya. Kalau sudah begini, biaya besar yang sudah dikeluarkan
untuk melaksanakan proyek pemberdayaan masyarakat itu pun menjadi sia-sia.
[1] Lihat: Harahap, Said Ali. 2003.
Analisis Masalah Kemiskinan Dan Tingkat Pendapatan Nelayan Tradisional Di
Kelurahan Nelayan Indah Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Hlm: 5.
[5] Lihat:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Community%20Based%20Tourism%20_CBT_.pdf
[7] Trawl dan alat tangkap berbahaya lainnya
(bom, potassium, setrum, dsb) sudah masuk Ke Indonesia jauh sebelum tahun 1980-an.
Apakah ini menempatkan trawl sebagai jenis alat tangkap tradisional? Lihat: Http://Sipuu.Setkab.Go.Id/Puudoc/858/Kp0391980.Htm
[10] Beberapa lembaga memberikan insentif
berupa uang tunai kepada masyarakat yang ikut berpartisipasi menanam bakau
dengan jumlah yang bervariasi untuk setiap batang bibit yang ditanam.
[11] Pelabuhan pendaratan perikanan rakyat
yang dikelola secara pribadi
[12] Lihat: http://www.pachamama.org/community-based-tourism
[13] Lihat Putra, Dharma Kelana. 2009.
Modal Sosial dan Kemiskinan Komunitas Nelayan Kecil di Desa Sialang Buah
Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara Tahun 2009, (Laporan Penelitian).
Medan: Tidak diterbitkan.
[14] Lubis, Zulkifli, dkk. 2002.
Resistensi, Persistensi, dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Proyek RUKK-I. Menristek: Laporan Penelitian.
[15] Lihat Badaruddin. 2003. Modal Sosial
dan Reduksi Kemiskinan Nelayan di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian Hibah
Bersaing Perguruan Tinggi. Dikti: Tidak Diterbitkan, hlm. 6
[18] Lihat: Lubis, Zulkifli, dkk. 2002.
Resistensi, Persistensi, dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Proyek RUKK-I. Menristek: Laporan Penelitian.
[19] Lihat: Fukuyama, Francis. 2002.
Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Qalam, Yogyakarta, hlm. 3
Siiiip (Y)
ReplyDelete