Sunday, 5 July 2015

Dari Benjamin Hingga Bryan: Dua Generasi Pelukis Kalimantan Barat

Oleh: Yusri Darmadi, S.S

Adalah Syech Abdul Azis Yusnian atau Azis, seorang pemuda yang bekerja di maskapai NOMURA, melalui Dr. Matsumoto yang menurunkan ilmu melukis dan menjadi cikal bakal tumbuhnya seni rupa modern di Kalimantan Barat. Pemuda Azis bekerja pada biro reklame Elita di Jakarta, dimana waktu untuk melukis tersedia cukup, ditambah perkenalannya dengan para perupa nasional, antara lain Le Majeur dan Otto Djaja makin menambah wawasannya akan seni rupa modern, dan pemikiran ini terus ditumbuh kembangkan olehnya ketika kembali ke daerah asalnya yakni Kalimantan Barat.
            Dalam perkembangannya kemudian satu demi satu perupa Kalimantan Barat mulai muncul, baik yang akademisi maupun yang autodidak, antara lain Achmad Basuni Ibrahim Abdurrahman atau biasa disebut ABIAR, juga A. Madjid Amran yang menimba ilmu di ASRI dan STSRI dan diteruskan dengan “nyantri” di sanggar Pandan Wangi pimpinan Bapak S. Sudjojono, kemudian A. Halim Ramli serta Dhany Wisastra. Dari mereka inilah, perlahan tetapi pasti, seni rupa modern mulai berkembang di Kalimantan Barat (Eugene Yohanes Palaunsoeka: 2013).
            Teman-teman seniman memanggilnya dokter Boyke karena wajahnya mirip dengan pakar kesehatan seksual yang populer tersebut. Dia adalah Thomas Benjamin atau Beny Bun, salah satu seniman seni rupa di Kalimantan Barat yang pernah menjadi asisten Azis, pelopor seni rupa modern Kalimantan Barat. Lahir di Pontianak pada tanggal 26 Agustus 1963. Saat ini beliau sudah berusia lebih dari setengah abad atau 52 tahun.
            Bakat seni beliau diturunkan dari Kakek garis keturunan ibu yang merupakan pelukis Chinesse Painting bernama Liau Man. Putra dari Iskandar Agus dan Veronica Juliawati ini dilatih cat air oleh kakeknya sejak Sekolah Dasar. Beberapa hasil coretannya pernah dimuat dalam majalah Tomtom (Majalah anak tempo dulu seperti Bobo, Kuncung, dsb.), bahkan sudah dimuat empat kali, salah satunya pada Majalah Tomtom No. 99. Saat itu, Benjamin kecil sering corat-coret di dinding rumah menggunakan arang. Melihat anaknya yang “nakal” itu, ayahnya berinisiatif membelikan buku gambar. Melihat bakat yang dimiliki cucunya, kakeknya mengajarkan menggunakan cat air, kuas, dan kain kanvas, sehingga akhirnya Benjamin kecil sudah mahir melukis menggunakan cat air sebagaimana kakeknya.
            Pertama kali pameran pada tanggal 3 sampai 9 Nopember 1980 di Press Room Gedung Balai Prajurit Kodam XII Tanjungpura Pontianak saat masih usia 16 tahun. Pameran yang diselenggarakan oleh Sanggar Pemuda Prestasi (Pempres) Pontianak ini dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-52. Kemudian rutin bepameran tiga kali setiap tahun. Pada tahun 1991, dengan menggunakan biaya dari pemerintah daerah Kalimantan Barat, Benjamin memperoleh kesempatan untuk menggelar pameran di Kuching Plaza, Malaysia. Beberapa aktivitas pameran beliau antara lain di Gedung Puspenmas Sanggau (1982), di Banjarmasin (Duta Seni 4 Propinsi 1982), di Hotel Aston Pontianak (2012), di Taman Gitananda Pontianak (Bangkitnya Seni Rupa Kalimantan Barat 2013), di Auditorium Museum Provinsi Kalbar (Citra Khatulistiwa 2013) di Anjungan Daerah Kalbar TMII Jakarta (Tunggal Rasa Cipta Warna 2013), dan terakhir di Rumah Radakng Pontianak (Dari Khatulistiwa untuk Indonesia 2015). Beberapa judul lukisannya antara lain Menenun di Masa Lampau, Senyum Manis, Pangkalan Senghi, Senja di Batu Payung, Puing-puing, dan Arowana Fish.
            Pelukis beraliran Realis ini merupakan pendiri sanggar Flamboyan pada tanggal 2 Desember 1981 dan menjadi ketua, sedangkan sekretarisnya Eugene Yohanes Palaunsoeka. Pada tahun 1986, sanggar ini menyelenggarakan lomba lukis dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Pontianak ke-215. Lomba lukis tersebut berlangsung di Hotel Kapuas Permai Pontianak dengan jumlah peserta dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak seratus orang yang dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok A berjumlah 16 orang peserta, kelompok B 28 peserta, dan kelompok C 56 peserta. Penilaian yang diberikan oleh tim juri antara lain, harmoni lukisan di samping warna dan bentuk, artistik dan estetik, teknik, dan ide, serta tema lukisan yaitu kesibukan di setiap sudut kota Pontianak atau yang bersifat positif.
Setelah lama meninggalkan Kota Pontianak sejak tahun 1984 menuju Kota Jakarta, Benjamin banyak menjalin kerja sama dengan beberapa Galeri antara lain Galeri Glori di daerah Kemang Jakarta. Selama 15 tahun di Jakarta, akhirnya beliau pulang kembali ke Kalbar. Sempat menetap di Sintang, namun oleh Eugene Yohanes Palaunsoeka diminta kembali ke Kota Pontianak. Sanggar Flamboyan saat ini berubah fungsi menjadi sanggar tari dan dipimpin oleh Yohanes Palaunsoeka.
Generasi pelukis Kalimantan Barat yang juga bisa dikatakan pelukis cilik yaitu Bryan Jevoncia. Dia adalah Siswa SD Suster Pontianak yang meraih penghargaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam ajang International Children Art Competition tahun 2007 di New York, Amerika Serikat pada usia 6,5 tahun.
Bocah kelahiran 16 Desember 2000 ini adalah salah satu dari 6 anak usia 6-15 tahun dari berbagai negara yang desainnya dinyatakan akan dijadikan gambar perangko PBB seri tahun 2008. Lomba “Children Art Competition” yang bertema “We Can End Poverty (Kita Dapat Mengakhiri Kemiskinan)” itu diikuti oleh sekitar 12.000 peserta dari 124 negara. Lomba ini diadakan dalam rangka peringatan Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan.
Desain perangko hasil karya Bryan menggambarkan anak-anak yang setelah pulang sekolah membantu ibu mereka dengan mencari uang melalui keterampilan mereka menggunakan sisa-sisa bahan pakaian jahitan.
Anak dari Pasangan Rosina Fardimin dan Cia Yau Song ini, saat berusia 2 tahun sering mencoret-coret kertas, sisa-sisa kain jahitan mamanya, bahkan coret-coretannya berpindah dari kertas dan kain menuju dinding kamar. Tak puas dengan aksinya di dalam kamar, Bryan melanjutkan kebiasaannya tersebut ke luar kamar. Hingga lama kelamaan hampir seluruh dinding rumah, yang dapat ia jangkau, penuh dengan coretannya.
Bryan mengalami suatu proses untuk menjadi pelukis cilik. Proses yang dialaminya selain mencorat-coret dinding rumah, juga sering “mencuri” kuali dan sendok penggorengan mamanya untuk dijadikan objek gambar ditambah kursi plastik terbalik dan potongan-potongan kertas. Kemudian dia mengikuti berbagai lomba lukis dan selalu tidak juara. Namun proses yang dialaminya tidak sia-sia saat Rosina dan beberapa orang tua di Pontianak mengirimkan karya Bryan dan anak-anak lainnya di Pontianak dalam ajang Children Art Competition yang diselenggarakan oleh PBB. (Pay Jarot Sujarwo: 2011).
Baik Thomas Benjamin maupun Bryan Jevoncia, kedua pelukis asal Kalimantan Barat ini telah berhasil menempatkan hasil lukisannya menjadi koleksi di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta. Mesekipun berbeda generasi, hasil karya mereka menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Barat.

(Diterbitkan oleh Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan dalam Majalah Insan Budaya No. 7 Tahun III, April 2015)

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive