Oleh: Yusri Darmadi, S.S


Teman-teman
seniman memanggilnya dokter Boyke karena wajahnya mirip dengan pakar kesehatan
seksual yang populer tersebut. Dia adalah Thomas Benjamin atau Beny Bun, salah
satu seniman seni rupa di Kalimantan Barat yang pernah menjadi asisten Azis,
pelopor seni rupa modern Kalimantan Barat. Lahir di Pontianak pada tanggal 26
Agustus 1963. Saat ini beliau sudah berusia lebih dari setengah abad atau 52
tahun.
Bakat
seni beliau diturunkan dari Kakek garis keturunan ibu yang merupakan pelukis Chinesse Painting bernama Liau Man.
Putra dari Iskandar Agus dan Veronica Juliawati ini dilatih cat air oleh
kakeknya sejak Sekolah Dasar. Beberapa hasil coretannya pernah dimuat dalam
majalah Tomtom (Majalah anak tempo dulu seperti Bobo, Kuncung, dsb.), bahkan
sudah dimuat empat kali, salah satunya pada Majalah Tomtom No. 99. Saat itu, Benjamin
kecil sering corat-coret di dinding rumah menggunakan arang. Melihat anaknya
yang “nakal” itu, ayahnya berinisiatif membelikan buku gambar. Melihat bakat
yang dimiliki cucunya, kakeknya mengajarkan menggunakan cat air, kuas, dan kain
kanvas, sehingga akhirnya Benjamin kecil sudah mahir melukis menggunakan cat
air sebagaimana kakeknya.
Pertama
kali pameran pada tanggal 3 sampai 9 Nopember 1980 di Press Room Gedung Balai
Prajurit Kodam XII Tanjungpura Pontianak saat masih usia 16 tahun. Pameran yang
diselenggarakan oleh Sanggar Pemuda Prestasi (Pempres) Pontianak ini dalam
rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-52. Kemudian rutin bepameran tiga
kali setiap tahun. Pada tahun 1991, dengan menggunakan biaya dari pemerintah
daerah Kalimantan Barat, Benjamin memperoleh kesempatan untuk menggelar pameran
di Kuching Plaza, Malaysia. Beberapa aktivitas pameran beliau antara lain di Gedung
Puspenmas Sanggau (1982), di Banjarmasin (Duta Seni 4 Propinsi 1982), di Hotel
Aston Pontianak (2012), di Taman Gitananda Pontianak (Bangkitnya Seni Rupa
Kalimantan Barat 2013), di Auditorium Museum Provinsi Kalbar (Citra
Khatulistiwa 2013) di Anjungan Daerah Kalbar TMII Jakarta (Tunggal Rasa Cipta
Warna 2013), dan terakhir di Rumah Radakng Pontianak (Dari Khatulistiwa untuk
Indonesia 2015). Beberapa judul lukisannya antara lain Menenun di Masa Lampau,
Senyum Manis, Pangkalan Senghi, Senja di Batu Payung, Puing-puing, dan Arowana
Fish.
Pelukis
beraliran Realis ini merupakan pendiri sanggar Flamboyan pada tanggal 2
Desember 1981 dan menjadi ketua, sedangkan sekretarisnya Eugene Yohanes
Palaunsoeka. Pada tahun 1986, sanggar ini menyelenggarakan lomba lukis dalam
rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Pontianak ke-215. Lomba lukis tersebut
berlangsung di Hotel Kapuas Permai Pontianak dengan jumlah peserta dari tingkat
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) sebanyak seratus orang yang dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok A
berjumlah 16 orang peserta, kelompok B 28 peserta, dan kelompok C 56 peserta.
Penilaian yang diberikan oleh tim juri antara lain, harmoni lukisan di samping
warna dan bentuk, artistik dan estetik, teknik, dan ide, serta tema lukisan
yaitu kesibukan di setiap sudut kota Pontianak atau yang bersifat positif.
Setelah lama
meninggalkan Kota Pontianak sejak tahun 1984 menuju Kota Jakarta, Benjamin
banyak menjalin kerja sama dengan beberapa Galeri antara lain Galeri Glori di
daerah Kemang Jakarta. Selama 15 tahun di Jakarta, akhirnya beliau pulang
kembali ke Kalbar. Sempat menetap di Sintang, namun oleh Eugene Yohanes
Palaunsoeka diminta kembali ke Kota Pontianak. Sanggar Flamboyan saat ini
berubah fungsi menjadi sanggar tari dan dipimpin oleh Yohanes Palaunsoeka.
Generasi pelukis
Kalimantan Barat yang juga bisa dikatakan pelukis cilik yaitu Bryan Jevoncia.
Dia adalah Siswa SD Suster Pontianak yang meraih penghargaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam ajang International
Children Art Competition tahun 2007 di New York, Amerika Serikat pada usia
6,5 tahun.
Bocah kelahiran 16
Desember 2000 ini adalah salah satu dari 6 anak usia 6-15 tahun dari berbagai
negara yang desainnya dinyatakan akan dijadikan gambar perangko PBB seri tahun
2008. Lomba “Children Art Competition”
yang bertema “We Can End Poverty
(Kita Dapat Mengakhiri Kemiskinan)” itu diikuti oleh sekitar 12.000 peserta
dari 124 negara. Lomba ini diadakan dalam rangka peringatan Hari Internasional
Pemberantasan Kemiskinan.
Desain perangko hasil
karya Bryan menggambarkan anak-anak yang setelah pulang sekolah membantu ibu
mereka dengan mencari uang melalui keterampilan mereka menggunakan sisa-sisa
bahan pakaian jahitan.
Anak dari Pasangan
Rosina Fardimin dan Cia Yau Song ini, saat berusia 2 tahun sering
mencoret-coret kertas, sisa-sisa kain jahitan mamanya, bahkan coret-coretannya
berpindah dari kertas dan kain menuju dinding kamar. Tak puas dengan aksinya di
dalam kamar, Bryan melanjutkan kebiasaannya tersebut ke luar kamar. Hingga lama
kelamaan hampir seluruh dinding rumah, yang dapat ia jangkau, penuh dengan
coretannya.
Bryan mengalami suatu
proses untuk menjadi pelukis cilik. Proses yang dialaminya selain
mencorat-coret dinding rumah, juga sering “mencuri” kuali dan sendok
penggorengan mamanya untuk dijadikan objek gambar ditambah kursi plastik
terbalik dan potongan-potongan kertas. Kemudian dia mengikuti berbagai lomba
lukis dan selalu tidak juara. Namun proses yang dialaminya tidak sia-sia saat Rosina
dan beberapa orang tua di Pontianak mengirimkan karya Bryan dan anak-anak
lainnya di Pontianak dalam ajang Children
Art Competition yang diselenggarakan oleh PBB. (Pay Jarot Sujarwo: 2011).
Baik Thomas Benjamin maupun Bryan Jevoncia, kedua
pelukis asal Kalimantan Barat ini telah berhasil menempatkan hasil lukisannya
menjadi koleksi di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta. Mesekipun berbeda
generasi, hasil karya mereka menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Barat.
(Diterbitkan oleh Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan dalam Majalah Insan Budaya No. 7 Tahun III, April 2015)
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.