Tuesday, 23 June 2015

REINS ASMARA: PERUPA DARI BARAT INDONESIA

Oleh: Dharma Kelana Putra

Awal Karir
            Sosok pria berwajah ramah itu bernama Reins Asmara. Ia adalah seorang perupa kawakan asal Sumatera Utara yang kini berkiprah di Kota Banda Aceh. Selama rentang waktu 1970 sampai dengan sekarang, berbagai prestasi telah ia raih. Nusantara telah ia jelajahi dengan hanya bermodal kuas dan kanvas. Tulisan ini akan mengulas tentang asal-usul dan apa yang sedang ia lakukan untuk mengembangkan seni rupa di Bumi Serambi Mekah.
            Pak Reins lahir di Sumatera Utara, tepatnya di Kota Medan tanggal 10 Oktober 1944. Ia lahir dari keluarga militer. Didikan keras dari orang tua membentuknya menjadi pribadi yang berwatak keras. Darah seni memang ia warisi dari orang tuanya, tetapi ia tak pernah menyangka akan menjadi seorang perupa.
            Dalam perjalanan karirnya, Pak Reins sempat menimba ilmu selama empat tahun di Sanggar Sekar Gunung asuhan Ki Heru Wiryono, seorang pemahat fenomenal dan pelestari budaya Jawa di Sumatera Utara yang wafat 2014 lalu. Setelah merasa cukup menempa diri, ia memutuskan untuk turun gunung, mengembangkan kemampuan dan menjajal dunia seni rupa Indonesia bersama dengan seniman-seniman asal Sumatera Utara lainnya dalam bingkai Simpassri (Simpaian Seniman Seni Rupa Indonesia).
            Ada satu momentum menyedihkan yang terjadi dalam hidupnya. Pada 26 Desember 2004 lalu, Bu Ros istri pertama Pak Reins bersama dengan seorang putranya meninggal karena tersapu gelombang tsunami. Saat itu mereka sedang berwisata ke Banda Aceh untuk menghabiskan libur panjang akhir tahun. Mungkin sudah suratan, hingga saat ini jenazah mereka masih belum ditemukan. Kesedihan yang mendalam mendorongnya untuk pindah ke Banda Aceh. Ketika ditanya, ia selalu memberikan jawaban yang berbeda. Tetapi siapapun pasti akan berkesimpulan bahwa ia pindah karena ingin merasa lebih dekat dengan mendiang anak dan istrinya.
            Kenangan tentang Bu Ros ia tuangkan dalam sebuah lukisan yang belum memiliki judul. Lukisan itu dipamerkan dalam acara “Mengenang 10 Tahun Tsunami Aceh” tanggal 26 Desember 2014 lalu. Lukisan itu menggambarkan sesosok perempuan berkerudung dengan latar belakang ombak dan setangkai mawar putih. Oleh seorang Antropolog asal Jepang, lukisan itu dinamai “the silent rose lady”.

Mengelola Sanggar
            Sejak bemukim di Aceh, Pak Reins telah memiliki visi yang kuat untuk mengembangkan bidang seni rupa. Karena kesamaan visi inilah Pak Reins bersama Dedi Kalee dan Nanda, pasangan seniman muda Aceh mendirikan dan mengelola sebuah sanggar seni rupa di kediaman mereka. Sanggar tersebut diberi nama Sanggar Seni Rupa 55. Di sanggar itu Dedi Kalee menjabat sebagai ketua, Pak Reins bertindak sebagai sekretaris, sementara Nanda bertugas sebagai bendahara.
Di sanggar kecil itu, ia menerima siapa saja yang ingin belajar seni rupa darinya. Tentu saja tidak gratis, sebab ilmu itu mahal harganya. Pak Reins mengatakan bahwa orang yang ingin belajar melukis harus menyediakan sendiri alat-alat dan bahan habis pakai, seperti kuas, cat, dan kanvas. Ketika akan belajar di sanggar, mereka harus membawa semacam sesajen, seperti; kopi, air kelapa, rokok kretek, atau gorengan. Karena menurutnya, orang tua lebih mudah berbicara dalam keadaan santai dan tenang.
Ongkos perjalanan dari rumah ke sanggar ditanggung sendiri oleh setiap peserta. Di luar dari itu, tidak ada biaya lain. Selebihnya hanya kesediaan orang untuk meluangkan waktu belajar di sanggar. Biasanya sanggar itu terlihat sepi, sebab orang datang silih berganti. Tetapi pada hari-hari tertentu sanggar tersebut ramai dipenuhi oleh para pecinta seni. Kalau sudah begini, Pak Reins pun jadi susah untuk ditemui.

Proses Pembuatan Sebuah Karya Seni
            Menurut Pak Reins waktu yang dihabiskan untuk pembuatan karya seni yang baik dapat diukur dari sesajen, demikian pula dengan kualitasnya. Semakin banyak sesajen yang diberikan, semakin baik kualitas lukisan yang dihasilkan. Wah, mengapa demikian? Apa ada hubungannya karya seni dengan mistik? Ternyata tidak. Jawabannya sederhana saja. Kalau lukisan yang dibuat berukuran kecil dan cukup sederhana, artinya proses pengerjaannya tidak membutuhkan waktu lama. Sementara untuk lukisan berukuran besar, membutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk detail objek dan komposisi warna yang lebih rumit. Maka dari itu, kopi, rokok, dan gorengan yang dihabiskan juga jumlahnya akan semakin banyak.
            Proyek seni yang saat ini tengah ia kerjakan adalah sebuah lukisan berukuran besar yang menggambarkan situasi meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Tanahkaro. Pengerjaannya sudah memakan waktu selama satu minggu dan saat ini baru terselesaikan 80%. Rencananya, lukisan tersebut akan ia sumbangkan ke Museum Daerah Sumatera Utara. Ketika ditanya, mengapa karya tersebut disumbangkan? Ia menjawab, “Apa boleh buat sudah ditawarkan ke banyak orang tapi tidak laku-laku, akhirnya ya disumbangkan” sambil diselingi gelak tawa.

Aliran Sesat
            Ada satu hal yang menarik ketika menikmati karya-karya hasil lukisan Pak Reins. Antara satu karya dengan karya lain memiliki tarikan garis dan teknik pewarnaan yang berbeda. Dari lukisan-lukisan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pak Reins menguasai beberapa aliran seni rupa seperti; naturalisme, ekspresionisme, realisme, fauvisme, dadaisme, dan kontemporer. Kemahiran ini membuat Pak Reins dikenal sebagai seorang perupa yang serba bisa.
            Ketika ditanya ia fokus di aliran mana, ternyata Pak Reins sendiri mengaku tidak tahu. Aliran-aliran yang disebutkan tadi adalah penamaan ilmiah oleh para akademisi, sementara ia adalah perupa yang belajar secara otodidak. Ia menampik dikatakan sebagai perupa yang tidak punya pendirian. Ia meluruskan “saya perupa dari aliran sesat”.
Sesat? Kenapa? Pak Reins menegaskan bahwa letak kesesatannya adalah karena tidak mau dibatasi oleh aliran-aliran tertentu. Aliran tanpa aliran, imbuh nya. Ia adalah perupa yang merdeka. Ia tidak suka jika diatur. Ia melukis sesuatu yang disukainya tanpa harus pusing dengan tanggapan orang lain.

Regenerasi: Tantangan Seni Rupa di Aceh
            Dewasa ini sangat sulit menemukan bibit-bibit perupa muda yang akan menggantikan para pendahulunya. Menurutnya ini sangat memperihatinkan, sebab para perupa senior populasinya mulai berkurang satu per satu. Mungkin saja seni rupa ini kurang diminati oleh generasi muda Aceh.
            Jika dilihat sepintas, ada banyak faktor yang membuat seni rupa senyap di kalangan generasi muda, diantaranya adalah; Pertama, kecanggihan teknologi membuat mereka beralih dari seni rupa ke desain grafis yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Kedua, di Aceh kecenderungan seni terfokus pada tari-tarian dan musik tradisional. Banyak yang tidak menyadari bahwa dulu, seni rupa adalah sarana utama penyampai pesan visual dari generasi sebelumnya untuk generasi berikut.
Terakhir, regenerasi sulit dilakukan karena banyak orang yang belum merdeka. Merdeka dalam hal ini bebas dari segala kepentingan lain di luar seni, seperti politik, ekonomi, permasalahan rumah tangga, dan lain-lain. Ars gratia artis, seni itu harus didedikasikan untuk seni.
            Terkait dengan regenerasi, diam-diam ia pernah mendapatkan tawaran untuk mengajar sebagai Dosen di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, yang berlokasi di Jantho Kabupaten Aceh Besar. Ini merupakan kesempatan besar untuk mencetak bibit-bibit perupa muda di Aceh. Tetapi sayang, tawaran tersebut ditolak karena menjadi Dosen dianggap hanya akan mengganggu kemerdekaan sebagai seorang seniman.
            Menurutnya seorang seniman harus punya pemikiran yang merdeka jika ingin berkembang. Harus berani menjadi diri sendiri, meski lingkungan sekitar belum bisa menerima. Ia juga mengatakan tidak tega melihat sanggar yang terbengkalai karena ditinggal mengajar. Pak Reins lebih memilih menjadi mitra ISBI, tetap di sanggar untuk berkarya dan membimbing perupa muda independen.

Rahasia Kesuksesan Seorang Seniman
            Pak Reins acapkali mengatakan bahwa rahasia sukses seorang seniman adalah dukungan keluarga. Tanpa dukungan keluarga, sudah pasti setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang seniman akan terganggu. Karena aktivitas seorang seniman adalah bentuk ekspresi dan aktualisasi diri, yang sebagian besar dilakukan tanpa didasari oleh motif ekonomi. Tidak banyak pasangan hidup yang mampu menerima konsekuensi ini dengan baik.
            Tak masalah jika pasangan hidup tidak mendukung aktivitas yang dilakukan oleh seorang seniman, tapi setidaknya jangan menghalangi aktivitas itu. Kalau hanya tidak mendukung, artinya masih ada kesempatan untuk mengembangkan kemampuan. Curi-curi kesempatan. Tetapi kalau sudah menghalangi, artinya sudah pasti layu sebelum berkembang.
            Pak Reins berpesan, menjadi seorang seniman mungkin tidak akan memberikan kesejahteraan berlebih pada orang-orang yang menekuninya. Tapi, alangkah baik jika kita mengekspresikan hidup sesuai dengan apa yang kita inginkan melalui kuas dan kanvas. Bukankah hidup itu dilihat dari hasil karya? Seperti kata Chairil Anwar, sekali berarti sesudah itu mati. Jadi, hidup itu harus meninggalkan kesan.
            Nah, demikian sepenggal kisah dari seorang perupa senior asal Medan yang kini berkiprah Banda Aceh. Semoga kisah ini memberi inspirasi bagi kita semua untuk ikut serta dalam memajukan dan melestarikan seni rupa di Indonesia, khususnya Aceh dan Sumatera Utara.

(Diterbitkan oleh Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan dalam Majalah Insan Budaya No. 7 Tahun III, April 2015)

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive