Oleh:
Dharma Kelana Putra
Awal
Karir
Sosok
pria berwajah ramah itu bernama Reins Asmara. Ia adalah seorang perupa kawakan asal
Sumatera Utara yang kini berkiprah di Kota Banda Aceh. Selama rentang waktu
1970 sampai dengan sekarang, berbagai prestasi telah ia raih. Nusantara telah
ia jelajahi dengan hanya bermodal kuas dan kanvas. Tulisan ini akan mengulas
tentang asal-usul dan apa yang sedang ia lakukan untuk mengembangkan seni rupa
di Bumi Serambi Mekah.
Pak
Reins lahir di Sumatera Utara, tepatnya di Kota Medan tanggal 10 Oktober 1944. Ia
lahir dari keluarga militer. Didikan keras dari orang tua membentuknya menjadi
pribadi yang berwatak keras. Darah seni memang ia warisi dari orang tuanya,
tetapi ia tak pernah menyangka akan menjadi seorang perupa.
Dalam
perjalanan karirnya, Pak Reins sempat menimba ilmu selama empat tahun di
Sanggar Sekar Gunung asuhan Ki Heru Wiryono, seorang pemahat fenomenal dan
pelestari budaya Jawa di Sumatera Utara yang wafat 2014 lalu. Setelah merasa
cukup menempa diri, ia memutuskan untuk turun gunung, mengembangkan kemampuan
dan menjajal dunia seni rupa Indonesia bersama dengan seniman-seniman asal
Sumatera Utara lainnya dalam bingkai Simpassri (Simpaian Seniman Seni Rupa
Indonesia).
Ada
satu momentum menyedihkan yang terjadi dalam hidupnya. Pada 26 Desember 2004
lalu, Bu Ros istri pertama Pak Reins bersama dengan seorang putranya meninggal
karena tersapu gelombang tsunami. Saat itu mereka sedang berwisata ke Banda Aceh
untuk menghabiskan libur panjang akhir tahun. Mungkin sudah suratan, hingga
saat ini jenazah mereka masih belum ditemukan. Kesedihan yang mendalam
mendorongnya untuk pindah ke Banda Aceh. Ketika ditanya, ia selalu memberikan
jawaban yang berbeda. Tetapi siapapun pasti akan berkesimpulan bahwa ia pindah karena
ingin merasa lebih dekat dengan mendiang anak dan istrinya.
Kenangan
tentang Bu Ros ia tuangkan dalam sebuah lukisan yang belum memiliki judul.
Lukisan itu dipamerkan dalam acara “Mengenang 10 Tahun Tsunami Aceh” tanggal 26
Desember 2014 lalu. Lukisan itu menggambarkan sesosok perempuan berkerudung
dengan latar belakang ombak dan setangkai mawar putih. Oleh seorang Antropolog asal
Jepang, lukisan itu dinamai “the silent
rose lady”.
Mengelola
Sanggar
Sejak
bemukim di Aceh, Pak Reins telah memiliki visi yang kuat untuk mengembangkan
bidang seni rupa. Karena kesamaan visi inilah Pak Reins bersama Dedi Kalee dan
Nanda, pasangan seniman muda Aceh mendirikan dan mengelola sebuah sanggar seni
rupa di kediaman mereka. Sanggar tersebut diberi nama Sanggar Seni Rupa 55. Di
sanggar itu Dedi Kalee menjabat sebagai ketua, Pak Reins bertindak sebagai
sekretaris, sementara Nanda bertugas sebagai bendahara.
Di sanggar kecil itu, ia menerima siapa saja yang
ingin belajar seni rupa darinya. Tentu saja tidak gratis, sebab ilmu itu mahal
harganya. Pak Reins mengatakan bahwa orang yang ingin belajar melukis harus
menyediakan sendiri alat-alat dan bahan habis pakai, seperti kuas, cat, dan
kanvas. Ketika akan belajar di sanggar, mereka harus membawa semacam sesajen, seperti; kopi, air kelapa,
rokok kretek, atau gorengan. Karena menurutnya, orang tua lebih mudah berbicara
dalam keadaan santai dan tenang.
Ongkos perjalanan dari rumah ke sanggar ditanggung
sendiri oleh setiap peserta. Di luar dari itu, tidak ada biaya lain. Selebihnya
hanya kesediaan orang untuk meluangkan waktu belajar di sanggar. Biasanya
sanggar itu terlihat sepi, sebab orang datang silih berganti. Tetapi pada
hari-hari tertentu sanggar tersebut ramai dipenuhi oleh para pecinta seni.
Kalau sudah begini, Pak Reins pun jadi susah untuk ditemui.
Proses
Pembuatan Sebuah Karya Seni
Menurut
Pak Reins waktu yang dihabiskan untuk pembuatan karya seni yang baik dapat
diukur dari sesajen, demikian pula
dengan kualitasnya. Semakin banyak sesajen
yang diberikan, semakin baik kualitas lukisan yang dihasilkan. Wah, mengapa
demikian? Apa ada hubungannya karya seni dengan mistik? Ternyata tidak.
Jawabannya sederhana saja. Kalau lukisan yang dibuat berukuran kecil dan cukup
sederhana, artinya proses pengerjaannya tidak membutuhkan waktu lama. Sementara
untuk lukisan berukuran besar, membutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk detail
objek dan komposisi warna yang lebih rumit. Maka dari itu, kopi, rokok, dan
gorengan yang dihabiskan juga jumlahnya akan semakin banyak.
Proyek
seni yang saat ini tengah ia kerjakan adalah sebuah lukisan berukuran besar
yang menggambarkan situasi meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Tanahkaro.
Pengerjaannya sudah memakan waktu selama satu minggu dan saat ini baru
terselesaikan 80%. Rencananya, lukisan tersebut akan ia sumbangkan ke Museum
Daerah Sumatera Utara. Ketika ditanya, mengapa karya tersebut disumbangkan? Ia
menjawab, “Apa boleh buat sudah ditawarkan ke banyak orang tapi tidak
laku-laku, akhirnya ya disumbangkan” sambil diselingi gelak tawa.
Aliran
Sesat
Ada
satu hal yang menarik ketika menikmati karya-karya hasil lukisan Pak Reins.
Antara satu karya dengan karya lain memiliki tarikan garis dan teknik pewarnaan
yang berbeda. Dari lukisan-lukisan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pak Reins menguasai
beberapa aliran seni rupa seperti; naturalisme, ekspresionisme, realisme,
fauvisme, dadaisme, dan kontemporer. Kemahiran ini membuat Pak Reins dikenal
sebagai seorang perupa yang serba bisa.
Ketika
ditanya ia fokus di aliran mana, ternyata Pak Reins sendiri mengaku tidak tahu.
Aliran-aliran yang disebutkan tadi adalah penamaan ilmiah oleh para akademisi,
sementara ia adalah perupa yang belajar secara otodidak. Ia menampik dikatakan
sebagai perupa yang tidak punya pendirian. Ia meluruskan “saya perupa dari aliran
sesat”.
Sesat? Kenapa? Pak Reins menegaskan bahwa letak
kesesatannya adalah karena tidak mau dibatasi oleh aliran-aliran tertentu. Aliran
tanpa aliran, imbuh nya. Ia adalah perupa yang merdeka. Ia tidak suka jika
diatur. Ia melukis sesuatu yang disukainya tanpa harus pusing dengan tanggapan
orang lain.
Regenerasi:
Tantangan Seni Rupa di Aceh
Dewasa
ini sangat sulit menemukan bibit-bibit perupa muda yang akan menggantikan para
pendahulunya. Menurutnya ini sangat memperihatinkan, sebab para perupa senior
populasinya mulai berkurang satu per satu. Mungkin saja seni rupa ini kurang
diminati oleh generasi muda Aceh.
Jika
dilihat sepintas, ada banyak faktor yang membuat seni rupa senyap di kalangan
generasi muda, diantaranya adalah; Pertama,
kecanggihan teknologi membuat mereka beralih dari seni rupa ke desain grafis
yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Kedua,
di Aceh kecenderungan seni terfokus pada tari-tarian dan musik tradisional.
Banyak yang tidak menyadari bahwa dulu, seni rupa adalah sarana utama penyampai
pesan visual dari generasi sebelumnya untuk generasi berikut.
Terakhir, regenerasi
sulit dilakukan karena banyak orang yang belum merdeka. Merdeka dalam hal ini
bebas dari segala kepentingan lain di luar seni, seperti politik, ekonomi,
permasalahan rumah tangga, dan lain-lain. Ars
gratia artis, seni itu harus didedikasikan untuk seni.
Terkait
dengan regenerasi, diam-diam ia pernah mendapatkan tawaran untuk mengajar
sebagai Dosen di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, yang berlokasi di
Jantho Kabupaten Aceh Besar. Ini merupakan kesempatan besar untuk mencetak
bibit-bibit perupa muda di Aceh. Tetapi sayang, tawaran tersebut ditolak karena
menjadi Dosen dianggap hanya akan mengganggu kemerdekaan sebagai seorang
seniman.
Menurutnya
seorang seniman harus punya pemikiran yang merdeka jika ingin berkembang. Harus
berani menjadi diri sendiri, meski lingkungan sekitar belum bisa menerima. Ia juga
mengatakan tidak tega melihat sanggar yang terbengkalai karena ditinggal mengajar.
Pak Reins lebih memilih menjadi mitra ISBI, tetap di sanggar untuk berkarya dan
membimbing perupa muda independen.
Rahasia
Kesuksesan Seorang Seniman
Pak
Reins acapkali mengatakan bahwa rahasia sukses seorang seniman adalah dukungan
keluarga. Tanpa dukungan keluarga, sudah pasti setiap aktivitas yang dilakukan
oleh seorang seniman akan terganggu. Karena aktivitas seorang seniman adalah
bentuk ekspresi dan aktualisasi diri, yang sebagian besar dilakukan tanpa
didasari oleh motif ekonomi. Tidak banyak pasangan hidup yang mampu menerima konsekuensi
ini dengan baik.
Tak
masalah jika pasangan hidup tidak mendukung aktivitas yang dilakukan oleh
seorang seniman, tapi setidaknya jangan menghalangi aktivitas itu. Kalau hanya
tidak mendukung, artinya masih ada kesempatan untuk mengembangkan kemampuan. Curi-curi
kesempatan. Tetapi kalau sudah menghalangi, artinya sudah pasti layu sebelum
berkembang.
Pak
Reins berpesan, menjadi seorang seniman mungkin tidak akan memberikan
kesejahteraan berlebih pada orang-orang yang menekuninya. Tapi, alangkah baik
jika kita mengekspresikan hidup sesuai dengan apa yang kita inginkan melalui
kuas dan kanvas. Bukankah hidup itu dilihat dari hasil karya? Seperti kata Chairil
Anwar, sekali berarti sesudah itu mati. Jadi, hidup itu harus meninggalkan
kesan.
Nah,
demikian sepenggal kisah dari seorang perupa senior asal Medan yang kini berkiprah
Banda Aceh. Semoga kisah ini memberi inspirasi bagi kita semua untuk ikut serta
dalam memajukan dan melestarikan seni rupa di Indonesia, khususnya Aceh dan
Sumatera Utara.
(Diterbitkan oleh Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan dalam Majalah Insan Budaya No. 7 Tahun III, April 2015)
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.