Tuesday, 14 April 2015

Membangun Potensi Masyarakat Pesisir dan Kaum Nelayan

Ditulis oleh: Nab Bahany AS

Sektor pembangunan bidang kelautan adalah sektor yang kurang mendapat perhatian serius dalam gerakan pembangunan masyarakat di Indonesia. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan selama hampir beberapa dasawarsa terakhir  lebih menaruh perhatian pada sektor daratan, seperti sektor pertanian melalui berbagai program pemberdayaan masyarakatnya.  Sedangkan  wilayah pesisir-kelautan yang sebagian besar masyarakat  menggantungkan hidup pada sumber daya laut sangat kurang mendapat perhatian program pemberdayaan masyarakatnya.
http://v-images2.antarafoto.com/g-ec/1281606624/belum-melaut-24.jpg
Foto: www.hukumonline.com

Kesenjangan perhatian terhadap pemberdayaan masyarakat pada  wilayah kelautan bukan tidak menimbulkan persoalan dalam pemerataan pembangunan di Indonesia. Di situ sisi, kesenjangan ini menunjukkan ketidakadiIan pemerintah dalam membangun masyarakat antara wilayah pesisir (nelayan) dengan masyarakat pedalaman (pertanian). Di sisi lainnya, akibat ketidakadilan itu telah menimbulkan dampak sosial yang amat kentara, terutama bagi kehidupan nelayan yang hingga kini masih dipandang sebagai masyarakat yang marginal. Gejala marginalisasi tersebut merupakan konsekuensi dan orientasi pembangunan yang tidak melihat ke laut dan lebih menyukai pembangunan daratan. Dengan demikian, masyarakat nelayan pun dengan sumber daya perikanannya belum dilihat sebagai potensi pembangunan nasional yang produktif. Kelalaian ini telah mengakibatkan timbulnya marjinalisasi masyarakat di wilayah pesisir (Kusnadi, 2002).

Meskipun sekarang perhatian terhadap sektor kelautan sudah mendapat perhatian serius dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan seiring dilaksanakannya otonomi daerah, namun akibat kelalaian pemerintah sebelumnya terhadap, sektor pembangunan kelautan ini, maka hingga sekarang masalah yang terkait dengan kehidupan masyarakat pesisir atau nelayan ini masih saja menjadi persoalan serius yang harus ditangani oleh pemerintah dengan serius pula. 

Seperti bagaimana pemerintah mengambil kebijakan menyelesaikan konflik-konflik internal antar kelompok nelayan yang sering terjadi karena perebutan daerah tangkapan atau pelanggaran-pelanggaran batas wilayah geografis. Belum lagi masalah pencurian ikan oleh kapal-­kapal asing (pukat harimau) yang sangat merugikan negara, serta masalah lingkungan laut, baik disebabkan oleh abrasi maupun pencemaran-pencemaran limbah industri yang tidak terkendali. Semua isu tersebut masih saja menjadi persoalan pembangunan sektor kelautan yang terkait dengan masyarakat nelayan yang harus mendapatkan perhatian pemerintah secara sungguh-­sungguh dalam merancang strategi pembangunan kedepan ini.

Ketertinggalan pembangunan di wilayah pesisir khususnya sektor kelautan memang terasa sekali terutama sejak pemerintahan Orde Baru, di mana sentuhan pembangunan sektor kelautan ini nyaris terabaikan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditempuh rezim Orde Baru dengan mengunakan kebijakan pembangunan secara bertahap yang kita kenal dengan Repelita I, II, III, IV dan V dalam kebijakan 25 tahun pembangunan jangka panjang pertama. Dalam kebijakan pembangunan tersebut hampir tidak ditemukan perhatian pemerintah pada pembangunan sektor pesisir-kelautan secara khusus. Akibatnya, nelayan menjadi warga negara yang sangat kurang menikmati kesejahteraan dari kue-kue pembangunan itu sendiri.

Ketika rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, segala bentuk Organisasi Rakyat (OR) secara sistematis dimarginalkan, dipinggirkan agar tak berdaya menghadapi pengaruh pusat kekuasaan yang dibangun bagai gurita raksasa yang siap mencengkeram setiap mangsanya ke mana-mana. Demikian pula halnya organisasi rakyat dalam masyarakat nelayan di Aceh yang dikenal dengan sebutan Panglima Laot. Meskipun peran Panglima Laot tidak terlalu kuat mengalami penekanan oleh pengaruh kekuasaan pemerintah Orde Baru, namun implikasinya telah menimbulkan dualisme pengendalian terhadap masyarakat nelayan di Aceh, yang satu diangkat oleh pemerintah sendiri, dan yang satu lagi dipilih dan diangkat oleh para nelayan sendiri. Bahkan bagi masyarakat nelayan di Aceh dalam beberapa hal cenderung mengakui Panglima Laot yang non formal dibandingkan dengan Panglima Laot yang diangkat dan di SK-kan pemenntah (Peureudee, 2002: volume 2).

Jadi, kalaupun pemerintah kemudian ikut melirik wilayah pesisir sebagai wujud perhatiannya terhadap nelayan, seperti mengangkat Panglima Laot, tampaknya kebijakan tersebut berlawanan dengan keinginan masyarakat nelayan itu sendiri. Sebab dari kasus-kasus yang terjadi pada nelayan di Aceh misalnya, ternyata masyarakat nelayan di daerah ini cenderung lebih mempercayai Panglima Laot-nya secara adat daripada Panglima Laot yang di SK-kan oleh pemerintah. Tentang mengapa, nelayan di Aceh masih sulit menerima Panglima Laot yang diangkat oleh pemerintah ini tampaknya diperlukan sebuah studi khusus untuk memperoleh jawaban konkrit dari masyarakat nelayan itu sendiri. Studi ini penting dilakukan agar pemerintah dapat memperoleh gambaran bagaimana seharusnya memberdayakan nelayan di wilayah Aceh.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (PPIIS) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tahun 1980 hingga tahun 1990 di beberapa kawasan pantai Aceh, menunjukkan bahwa peranan Panglima Laot sebagai organisasi nelayan sangat beragam, sesuai dengan wilayahnya masing-­masing. Di daerah pantai Telaga Tujoh Aceh Timur misalnya,  Panglima Laot-nya sangat berpengaruh dan berwibawa. Pengaruh dan wibawanya dalam mengatur pola interaksi budaya masyarakat nelayan di daerahnya bahkan melebihi pengaruh aparat pemerintahan seperti Kepala Desa atau Camat.

Sementara di pantai Pasi Lhok Kabupaten Pidie, sejak masuknya pengaruh pemerintah lewat partai politik tertentu, terutama sejak pemerintahan Orde Baru, peran dan fungsi Panglima Laot nyaris ditinggalkan kaum nelayan. Ini disebabkan karena Panglima Laot di daerah itu dinilai tidak lagi mewakili aspirasi para nelayan. Panglima Laot-nya sudah terpengaruh dengan bujuk rayu partai politik yang memiliki kepentingan untuk meraih kemenangan dalarn pemilihan umum.

Kekacauan fungsi dan peran Panglima Laot akibat kesalahan kebijakan pemerintah juga terjadi di Aceh Besar. Di wilayah ini menurut hasil penelitian PPIIS Unsyiah terjadi dualisme kepemimpinan Panglima Laot, yaitu antara Panglima Laot yang diangkat oleh nelayan dengan Panglima Laot yang di SK-kan pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan. Dengan adanya dualisme Panglima Laot ini telah menimbulkan konflik dalam masyarakat nelayan di wilayah ini. Sebagian nelayan menyetujui adanya Panglima Laot yang disukturkan pemerintah mulai dari tingkat Kabupaten/Kota hingga tingkat Provinsi, sebagian lagi menolak adanya struktur Panglima Laot seperti itu. Mereka menilai peran dan fungsl Panglima Laot yang di SK-kan  pemerintah tidak ubahnya sepertl peran organisasi politik dan itu sangat bertentangan dengan sistem hokum adat dan tradisi nelayan di Aceh.

Kasus-kasus tersebut di atas jelas menggambarkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan  (masyarakat pesisir-kelautan) yang diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengabaikan aspirasi dan realitas yang berkembang di dalam masyarakatnya. Akibatnya banyak proyek-proyek pemberdayaan masyarakat nelayan dan pesisir yang salah sasaran dan sia-sia. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pengalaman aparat pemerintah dalam bidang adat istiadat kelautan masyarakat Aceh dalam melakukan pemberdayaan masyarakat nelayan. Proyek-­proyek pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) banyak yang dilakukan asal jadi dan tidak berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat di wilayah pesisir itu sendiri.

Di sini lagi-lagi pemerintah harus mengkaji lebih jauh kebijakan pembangunan untuk masyarakat pesisir khususnya nelayan yang sudah ditempuh selama ini, sehingga masyarakat pesisir tidak merasa diabaikan. Barang kali dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji kembali bagaimana kedudukan Panglima Laot menurut hokum adat di masing-masing daerah. Untuk Aceh, kalau kedudukan Panglima Laot ini ingin diformalkan, UU No. 44/1999 dan UU No. 16/2000, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya mengakui keberadaan Panglima Laot di Aceh hendaknya dapat dijadikan sebagai rujukan. Ketiga UU tersebut membuka ruang untuk diaktualisasikan kembali lembaga adat Panglima Laot sesuai dengan peran dan fungsi yang diharapkan oleh masyarakat nelayan.

Sebagaimana telah disinggung di atas, masalah kemiskinan, keterbelakangan dan kesulitan hidup lainnya merupakan masalah yang masih krusial yang dihadapi komunitas nelayan di Indonesia, terutama nelayan-nelayan kecil yang masih menggunakan peralatan tangkap tradisional. Banyak faktor yang membuat nelayan menjadi komunitas yang lemah dan serba kekurangan dibandingkan masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman agraris (pertanian) dan perkotaan. Di antara faktor yang sangat signifikan terhadap ketidakberdayaan masyarakat nelayan adalah sistem budaya yang dibangun dalam kebijakan pembangunan itu tidak menghargai komunitas masyarakat nelayan. Sehingga komunitas nelayan menjadi komunitas yang secara kultural dipandang sangat rendah dalam segala aspek sosialnya. Dari sudut pandang ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, mereka dianggap sebagai komunitas masyarakat yang tidak memiliki kemampuan terhadap semua itu. Pandangan tersebut secara kultural telah menjadi opini publik.

Ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat nelayan ini dapat di lihat dari kurangnya perhatian dan kepedulian yang diberikan kepada mereka selama ini, termasuk oleh pemerintah sendiri. Perhatian dan kepedulian yang serius terhadap masyarakat nelayan ini  justru datang dari lembaga-­lembaga independen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Misalnya   di Aceh, dulu Yayasan Pusat Gerakan Atvokasi Rakyat (PUGAR) adalah salah satu LSM  yang konsisten dan secara khusus melakukan pemberdayaan komunitas nelayan di Aceh, Yayasan ini pernah melakukan beberapa program dan kegiatan-kegiatan yang berupaya mengadvokasi kasus-kasus nelayan dan sumberdaya masyarakat pesisir dan kelautan yang menjadi sumber  penghidupannya. Salah satu program yang pernah dilakukan PUGAR adalah pemberdayaan komunitas nelayan di beberapa desa pantai di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dimana dalam advokasi tersebut terungkap banyak kasus-kasus pembangunan pemberdayaan yang dilakukan tidak langsung menyentuh pada pemberdayaan masyarakat nelayan itu sendiri.

Ketidakberpihakan terhadap nelayan juga dapat dilihat dari apa yang digambarkan (Kusnadi, 2002) dalam tinjauannya terhadap hak ulayat laut sebagai suatu hak masyarakat adat di wilayah pesisir. Para ahli antropologi maritim bersepakat bahwa praktek-praktek hak ulayat laut merupakan strategi pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelautan yang bisa menjamin kelangsungan hidup ekonomi masyarakat di wilayah pesisir dengan harus menjaga kelestarian sumberdaya alamnya. Namur dalam praktek-praktek kemudian, hak ulayat laut ini telah dilanggar akibat cara pandang terhadap sumber daya perikanan ini sebagai milikbersama.

Selama masa Orde Baru, hak ulayat laut masyarakat secara umum diabaikan dan ditindas oleh negara dalam rangka mengembangkan sentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang bersifat monopolis. Dengan dominasi kebijakan demikian, dikembangkan pandangan  bahwa seolah-olah pranata­pranata tradisional merupakan "rintangan" pembangunan yang dapat menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi. Penghancuran budaya dengan berbagai kebijakan regulasi negara itu berarti sekaligus menghancurkan pula ekonomi masyarakat, khususnya ekonomi komunitas nelayan, secara ekonomis dan politis hingga menempatkan masyarakat itu pada posisi marginal yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya kepada peraturan dan kebijakan negara (Kusnadi, 2002:125).

Meskipun di era reformasi ini telah terbuka kesempatan bagi masyarakat adat untuk melakukan reposisi terhadap negara dengan mengembangkan seluruh potensi dan strategi yang dimiliki dalam pengelolaan sumber daya alam, namun kebijakan pembangunan Orde Baru yang menempatkan sumber daya alam sebagai objek semata yang harus dieksploitasi secara optimal hingga saat ini  masih saja terasa dominan. Selain itu, kebijakan pembangunan Orde Baru yang lebih berorientasi ke daratan dan tidak memihak pada kelautan menyebabkan masyarakat (publik) menjadi tidak berpihak terhadap sumber daya kelautan dan masyarakat di wilayah-wilayah pesisir yang mengandalkan laut sebagai sumber penghidupannya.

Lemahnya keberpihakan kebijakan pembangunan terhadap sumber daya laut juga telah mengakibatkan rendahnya kepedulian publik untuk ikut serta menjaga kelestarian hayati yang terkandung di dalamnya. Malah yang terdadi adalah penekanan-penekanan terhadap komunitas nelayan dengan pengoperasian alat tangkap modern (pukat harimau) yang jelas-jelas melanggar hukum, tidak hanya hukum adat tetapi juga hukum negara. Penggunaan alat tangkap yang merusak itu terus berlangsung dan mendapatkan perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan dengan menakut-nakuti para nelayan tradisional.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat pesisir yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan, selain disebabkan kesalahan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi ke daratan selama puluhan tahun belakangan ini, juga ada pengaruhnya dengan pandangan publik secara kultural bahwa komunitas masyarakat yang mendiami wilayah pesisir adalah komunitas masyarakat yang memiliki kekurangan dalam segala hal, dibandingkan dengan masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan dan pedalaman yang menunut pandangan publik agak lebih maju dalam berbagai bentuk interaksi sosial dan budayanya.

Karena itu, untuk mengubah opini publik dari ketidak berpihakan dan penafiannya terhadap, potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat pesisir (nelayan) harus lebih dulu dikembangkan konsep-­konsep pembangunan yang terarah dan  lebih berpihak pada masyarakat pesisir ini. Dengan terarahnya kebijakan pembangunan pada masyarakat pesisir ini, perhatian publik juga akan ikut berpihak. Dengan demikian, potensi dan sumber daya ekonomi masyarakat nelayan ini akan mampu mengangkat kehidupan masyarakat pesisir yang selama ini terpinggirkan.


(Disampaikan pada Diskusi Kelompok Terfokus: Dampak Potensi Kelautan Terhadap Strata Sosial Masyarakat Nelayan di Aceh Besar tanggal 13 April 2015)

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive