Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra
Beberapa hari lagi, tepat sepuluh
tahun sudah bencana dahsyat tsunami menghantam bumi serambi mekkah. Sungguh
peristiwa yang sangat pedih dan memilukan, tetapi musibah itu tidak dapat
dihindari. Kemakmuran yang sudah dibangun selama puluhan tahun hancur dengan seketika.
Aceh terluka, seluruh rakyat Indonesia berduka, seluruh dunia pun turut
menunjukkan belasungkawa.
Musibah itu terjadi tanggal 26
Desember 2004, diawali dengan sebuah gempa berkekuatan 9 skala richter disusul
ombak besar yang menyapu sebagian daratan Aceh dan Sumatera Utara. Pusat gempa
terletak di pesisir Barat Sumatera, tepatnya 160 km di sebelah utara Pulau
Simeulue dengan kedalaman 30 kilometer di bawah permukaan laut. Daya hancurnya
bahkan dirasakan pula oleh negara-negara lainnya di benua Asia. Kekuatan gempa
itu merusak bangunan dan berbagai fasilitas umum, sementara ombak besarnya
menyapu bersih daratan yang dilaluinya tanpa pandang bulu. Kombinasi antara kecepatan
air laut dan serpihan material menciptakan daya hancur yang luar biasa. Listrik
padam, komunikasi terputus, puluhan ribu orang tewas seketika, mereka yang tersisa
pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sulit bagi Aceh untuk kembali
bangkit dari keterpurukan pada waktu itu, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak
semua itu dapat diwujudkan. Satu per satu, berbagai program pembangunan baik
fisik maupun mental dilakukan untuk membangun kembali Aceh. Melalui sebuah
lembaga yang bernama Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, pembangunan Aceh pun
dimulai.
Selama
proses itu, beredar wacana diberbagai media yang mengatakan bahwa lima tahun masa
bakti BRR berlalu dengan begitu saja sampai ia dibubarkan. Padahal, pembubaran
BRR secara simbolis menandakan bahwa Aceh sudah bisa bangkit dari
keterpurukannya. Benarkah demikian? Masih belum lekang dari ingatan, bahwa pembubaran
BRR mendapatkan rapor merah dari masyarakat Aceh karena meninggalkan berbagai
persoalan program pembangunan yang belum selesai.
Selentingan
kabar menyebar dan menyuarakan korupsi yang terjadi di sana-sini, penyalahgunaan
bantuan oleh beberapa oknum rekanan, munculnya proyek siluman, bantuan yang
tidak tepat sasaran, serta berbagai polemik lainnya. Banyak pihak yang
mengatakan bahwa secara kuantitatif pembangunan berhasil, tetapi secara
kualitatif masih belum. Padahal dana yang dikucurkan BRR dari hasil sumbangan
negara-negara lain jumlahnya tidak sedikit. Jika dana tersebut dimanfaatkan
dengan benar, sudah pasti kesejahteraan fisik dan sosial dapat diwujudkan.
Salah seorang teman saya bahkan pernah
mengatakan lelucon yang menurut saya tidak lucu, “bagaimana mungkin BRR bisa melepas proyek besar kepada orang-orang yang
keringat dingin ketika menghadapi persoalan persamaan regresi linear?”. Apa
yang salah dari ini?
Tidak
ada yang salah menurut saya. Tindakan BRR yang melibatkan masyarakat sekitar
untuk membangun sendiri daerahnya sudah sangat ideal dan sebelumnya tidak
pernah diimplementasikan pada masa orde baru (top-down). Tindakan ini didasarkan atas konsep pemberdayaan
masyarakat dengan asumsi bahwa mereka yang dilibatkan memiliki keterikatan
emosional dengan daerahnya dan mereka dianggap paling tahu apa yang mereka
butuhkan, sehingga hasil pekerjaan yang akan mereka lakukan nantinya lebih
tepat sasaran jika dibandingkan dengan hasil kerja relawan yang didatangkan
dari luar Aceh.
Kesalahan yang terjadi mungkin
merupakan sebuah kekhilafan. Wajar
saja, setiap manusia tidak luput dari khilaf.
Khilaf karena tergiur uang yang jumlahnya
milyaran, atau khilaf karena sebab
musabab lain. Terbukti, ada yang semakin kaya dan tidak sedikit pula yang
mendadak kaya karena khilaf yang
dilakukannya. Kenikmatan yang ditimbulkan khilaf
ini membuat orang merasa nyaman dan cenderung mengulangi khilafnya.
Satu
hal yang perlu disadari bahwa khilaf
itu tidak boleh sering-sering terjadi, sebab khilaf tersebut berdampak pada terhambatnya pembangunan
kesejahteraan masyarakat. Khilaf yang
dilakukan secara terus-menerus akan menguntungkan secara personal di satu sisi,
tetapi di sisi lain menjerumuskan masyarakat tanpa mereka sadari. Semoga khilaf ini dimaafkan oleh seluruh
masyarakat mereka di dunia dan akhirat.
Sedikit
contoh tentang hasil dari sebuah ke-khilafan.
Lihat saja rumah bantuan tsunami di berbagai kawasan, banyak yang kualitasnya tidak
sesuai dengan standar kelayakan rumah sederhana. Pondasinya lemah, dindingnya
seperti tidak bertulang, catnya sudah terkelupas, kusennya retak ketika
dipasangi jerjak. Tidak sedikit masyarakat yang memugar kembali rumah bantuan
yang mereka terima agar lebih layak huni. Saat ini, deretan rumah bantuan
tersebut lebih mirip dengan kawasan permukiman kumuh.
Kita lihat juga fasilitas ruangan
pembeku hasil sumbangan rakyat Jepang di Desa Meunasah Keudee, Kecamatan Mesjid
Raya Kabupaten Aceh Besar. Salah satu bentuk pengelolaan bantuan yang tidak
tepat sasaran. Kondisinya saat ini benar-benar terbengkalai dan sangat
mengenaskan. Bangunannya berbau pesing, dindingnya sudah keropos karena tak
terawat, kompresornya mungkin sudah tidak dapat berfungsi dengan baik. Lima
tahun lalu, otoritas setempat mengatakan bahwa fasilitas ini tidak dapat digunakan
karena pasokan listrik PLN tidak memadai untuk pengoperasiannya. Sampai lima
tahun kemudian, mereka pasrah saja dengan keadaan dan fasilitas itu pun hancur
dengan percuma dengan alasan tidak ada dana untuk pemeliharaannya.
Setiap
orang yang melihat kondisi ini pasti merasa miris. Bayangkan jika anda
memberikan sepeda motor yang anda miliki kepada orang lain sebagai bentuk
bantuan. Lalu beberapa bulan kemudian anda melihat sepeda motor tersebut sudah
tidak layak jalan dan tidak terawat. Apa yang anda rasakan? Tentu anda akan
berpikir ulang dalam memberikan bantuan kepada orang yang sama untuk kedua
kalinya.
Coba
bayangkan apa yang dirasakan oleh perwakilan negara-negara donor ketika melihat
hasil sumbangan mereka tidak dikelola dengan baik oleh lembaga yang dibentuk
dan dipercayai oleh pemerintah Indonesia. Sudah pasti dampaknya adalah
menghilangnya trust terhadap
pemerintah dan bangsa, khususnya pemerintahan Aceh sendiri. Bisa jadi dampaknya
adalah menurunnya minat investor asing menanamkan modalnya di Aceh atau bahkan
lebih buruk lagi. Jika demikian, maka pelaksanaan program percepatan
pembangunan Aceh yang dicanangkan oleh Bapak Gubernur secara tidak langsung akan
terhambat. Semuanya berawal dari sebuah ke-khilafan,
tapi haruskah kita turut tenggelam di dalamnya? Tentu tidak.
Banyak
hal positif yang bisa dilakukan, seperti ikut berpartisipasi dalam berbagai
beasiswa pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah, aktif dalam program
pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan bermanfaat lainnya. Jika masyarakat Aceh
butuh satu momentum untuk menyatukan visi tentang pembangunan yang ideal, maka
momentum itu berpuncak pada sebuah perhelatan besar yang bernama Peringatan 10
Tahun Tsunami Aceh. Peringatan ini akan segera dilaksanakan sebagai bentuk refleksi,
apresiasi, dan kebangkitan masyarakat Aceh. Meskipun akan diadakan beberapa
hari lagi, namun euforia perhelatan
ini sudah terlihat dimana-mana. Mulai dari spanduk, baligho, hingga siaran
radio. Berbagai instansi pemerintahan terlibat di dalamnya. Mulai dari jajaran
Pemerintah Daerah, UPTD Kementrian, Kepolisian, Militer, Pers, Wirausaha,
Seniman, bahkan Pedagang Kaki Lima.
Menurut
informasi, perhelatan ini akan dihadiri oleh lima ribu orang perwakilan dari berbagai
negara dan organisasi internasional yang diundang oleh pemerintah Aceh. Jika
kita beruntung, perhelatan ini akan dibuka secara resmi oleh Presiden Republik
Indonesia Bapak Joko Widodo. Dalam perhelatan ini akan dilakukan kegiatan
seperti tausyiah dan doa bersama Ustadz Ali Jaber, upacara, pameran, parade
film dokumenter, serta lari marathon 10 km. Secara simbolis perhelatan besar
ini merupakan upaya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Aceh telah bangkit,
dan segenap rakyat Aceh berterima kasih untuk itu.
Sebagai bagian dari Aceh, sudah
selayaknya kita memberikan dukungan yang positif atas terselenggaranya perhelatan
akbar ini. Sekaligus kita jadikan momen ini sebagai langkah awal untuk move on. Biarlah semua kenangan buruk
dan kepedihan yang mendalam tenggelam bersama dengan deburan ombak Samudera
Hindia. Maafkan semua kekhilafan yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir ini,
sebab semua orang berhak untuk kesempatan kedua. Manfaatkan setiap kesempatan
yang ada untuk membangun Aceh dan masyarakatnya. Masyarakat Aceh harus bangkit
dalam pembangunan. Aceh Pasti Bisa!!!
(Diterbitkan oleh Harian Waspada tanggal 26 Desember 2014)
Waspada Online
(Diterbitkan oleh Harian Waspada tanggal 26 Desember 2014)
Waspada Online
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.