Friday, 10 April 2015

REFLEKSI 10 TAHUN TSUNAMI DI ACEH

Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra


http://www.acehkita.com/wp-content/uploads/2014/12/Logo.jpg
         Beberapa hari lagi, tepat sepuluh tahun sudah bencana dahsyat tsunami menghantam bumi serambi mekkah. Sungguh peristiwa yang sangat pedih dan memilukan, tetapi musibah itu tidak dapat dihindari. Kemakmuran yang sudah dibangun selama puluhan tahun hancur dengan seketika. Aceh terluka, seluruh rakyat Indonesia berduka, seluruh dunia pun turut menunjukkan belasungkawa.
            Musibah itu terjadi tanggal 26 Desember 2004, diawali dengan sebuah gempa berkekuatan 9 skala richter disusul ombak besar yang menyapu sebagian daratan Aceh dan Sumatera Utara. Pusat gempa terletak di pesisir Barat Sumatera, tepatnya 160 km di sebelah utara Pulau Simeulue dengan kedalaman 30 kilometer di bawah permukaan laut. Daya hancurnya bahkan dirasakan pula oleh negara-negara lainnya di benua Asia. Kekuatan gempa itu merusak bangunan dan berbagai fasilitas umum, sementara ombak besarnya menyapu bersih daratan yang dilaluinya tanpa pandang bulu. Kombinasi antara kecepatan air laut dan serpihan material menciptakan daya hancur yang luar biasa. Listrik padam, komunikasi terputus, puluhan ribu orang tewas seketika, mereka yang tersisa pun tak bisa berbuat apa-apa.
            Sulit bagi Aceh untuk kembali bangkit dari keterpurukan pada waktu itu, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak semua itu dapat diwujudkan. Satu per satu, berbagai program pembangunan baik fisik maupun mental dilakukan untuk membangun kembali Aceh. Melalui sebuah lembaga yang bernama Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, pembangunan Aceh pun dimulai.
Selama proses itu, beredar wacana diberbagai media yang mengatakan bahwa lima tahun masa bakti BRR berlalu dengan begitu saja sampai ia dibubarkan. Padahal, pembubaran BRR secara simbolis menandakan bahwa Aceh sudah bisa bangkit dari keterpurukannya. Benarkah demikian? Masih belum lekang dari ingatan, bahwa pembubaran BRR mendapatkan rapor merah dari masyarakat Aceh karena meninggalkan berbagai persoalan program pembangunan yang belum selesai.
Selentingan kabar menyebar dan menyuarakan korupsi yang terjadi di sana-sini, penyalahgunaan bantuan oleh beberapa oknum rekanan, munculnya proyek siluman, bantuan yang tidak tepat sasaran, serta berbagai polemik lainnya. Banyak pihak yang mengatakan bahwa secara kuantitatif pembangunan berhasil, tetapi secara kualitatif masih belum. Padahal dana yang dikucurkan BRR dari hasil sumbangan negara-negara lain jumlahnya tidak sedikit. Jika dana tersebut dimanfaatkan dengan benar, sudah pasti kesejahteraan fisik dan sosial dapat diwujudkan.
            Salah seorang teman saya bahkan pernah mengatakan lelucon yang menurut saya tidak lucu, “bagaimana mungkin BRR bisa melepas proyek besar kepada orang-orang yang keringat dingin ketika menghadapi persoalan persamaan regresi linear?”. Apa yang salah dari ini?
Tidak ada yang salah menurut saya. Tindakan BRR yang melibatkan masyarakat sekitar untuk membangun sendiri daerahnya sudah sangat ideal dan sebelumnya tidak pernah diimplementasikan pada masa orde baru (top-down). Tindakan ini didasarkan atas konsep pemberdayaan masyarakat dengan asumsi bahwa mereka yang dilibatkan memiliki keterikatan emosional dengan daerahnya dan mereka dianggap paling tahu apa yang mereka butuhkan, sehingga hasil pekerjaan yang akan mereka lakukan nantinya lebih tepat sasaran jika dibandingkan dengan hasil kerja relawan yang didatangkan dari luar Aceh.
            Kesalahan yang terjadi mungkin merupakan sebuah kekhilafan. Wajar saja, setiap manusia tidak luput dari khilaf. Khilaf karena tergiur uang yang jumlahnya milyaran, atau khilaf karena sebab musabab lain. Terbukti, ada yang semakin kaya dan tidak sedikit pula yang mendadak kaya karena khilaf yang dilakukannya. Kenikmatan yang ditimbulkan khilaf ini membuat orang merasa nyaman dan cenderung mengulangi khilafnya. 
Satu hal yang perlu disadari bahwa khilaf itu tidak boleh sering-sering terjadi, sebab khilaf tersebut berdampak pada terhambatnya pembangunan kesejahteraan masyarakat. Khilaf yang dilakukan secara terus-menerus akan menguntungkan secara personal di satu sisi, tetapi di sisi lain menjerumuskan masyarakat tanpa mereka sadari. Semoga khilaf ini dimaafkan oleh seluruh masyarakat mereka di dunia dan akhirat.
Sedikit contoh tentang hasil dari sebuah ke-khilafan. Lihat saja rumah bantuan tsunami di berbagai kawasan, banyak yang kualitasnya tidak sesuai dengan standar kelayakan rumah sederhana. Pondasinya lemah, dindingnya seperti tidak bertulang, catnya sudah terkelupas, kusennya retak ketika dipasangi jerjak. Tidak sedikit masyarakat yang memugar kembali rumah bantuan yang mereka terima agar lebih layak huni. Saat ini, deretan rumah bantuan tersebut lebih mirip dengan kawasan permukiman kumuh.
            Kita lihat juga fasilitas ruangan pembeku hasil sumbangan rakyat Jepang di Desa Meunasah Keudee, Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Salah satu bentuk pengelolaan bantuan yang tidak tepat sasaran. Kondisinya saat ini benar-benar terbengkalai dan sangat mengenaskan. Bangunannya berbau pesing, dindingnya sudah keropos karena tak terawat, kompresornya mungkin sudah tidak dapat berfungsi dengan baik. Lima tahun lalu, otoritas setempat mengatakan bahwa fasilitas ini tidak dapat digunakan karena pasokan listrik PLN tidak memadai untuk pengoperasiannya. Sampai lima tahun kemudian, mereka pasrah saja dengan keadaan dan fasilitas itu pun hancur dengan percuma dengan alasan tidak ada dana untuk pemeliharaannya.
Setiap orang yang melihat kondisi ini pasti merasa miris. Bayangkan jika anda memberikan sepeda motor yang anda miliki kepada orang lain sebagai bentuk bantuan. Lalu beberapa bulan kemudian anda melihat sepeda motor tersebut sudah tidak layak jalan dan tidak terawat. Apa yang anda rasakan? Tentu anda akan berpikir ulang dalam memberikan bantuan kepada orang yang sama untuk kedua kalinya.
Coba bayangkan apa yang dirasakan oleh perwakilan negara-negara donor ketika melihat hasil sumbangan mereka tidak dikelola dengan baik oleh lembaga yang dibentuk dan dipercayai oleh pemerintah Indonesia. Sudah pasti dampaknya adalah menghilangnya trust terhadap pemerintah dan bangsa, khususnya pemerintahan Aceh sendiri. Bisa jadi dampaknya adalah menurunnya minat investor asing menanamkan modalnya di Aceh atau bahkan lebih buruk lagi. Jika demikian, maka pelaksanaan program percepatan pembangunan Aceh yang dicanangkan oleh Bapak Gubernur secara tidak langsung akan terhambat. Semuanya berawal dari sebuah ke-khilafan, tapi haruskah kita turut tenggelam di dalamnya? Tentu tidak.
Banyak hal positif yang bisa dilakukan, seperti ikut berpartisipasi dalam berbagai beasiswa pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah, aktif dalam program pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan bermanfaat lainnya. Jika masyarakat Aceh butuh satu momentum untuk menyatukan visi tentang pembangunan yang ideal, maka momentum itu berpuncak pada sebuah perhelatan besar yang bernama Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh. Peringatan ini akan segera dilaksanakan sebagai bentuk refleksi, apresiasi, dan kebangkitan masyarakat Aceh. Meskipun akan diadakan beberapa hari lagi, namun euforia perhelatan ini sudah terlihat dimana-mana. Mulai dari spanduk, baligho, hingga siaran radio. Berbagai instansi pemerintahan terlibat di dalamnya. Mulai dari jajaran Pemerintah Daerah, UPTD Kementrian, Kepolisian, Militer, Pers, Wirausaha, Seniman, bahkan Pedagang Kaki Lima.
Menurut informasi, perhelatan ini akan dihadiri oleh lima ribu orang perwakilan dari berbagai negara dan organisasi internasional yang diundang oleh pemerintah Aceh. Jika kita beruntung, perhelatan ini akan dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo. Dalam perhelatan ini akan dilakukan kegiatan seperti tausyiah dan doa bersama Ustadz Ali Jaber, upacara, pameran, parade film dokumenter, serta lari marathon 10 km. Secara simbolis perhelatan besar ini merupakan upaya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Aceh telah bangkit, dan segenap rakyat Aceh berterima kasih untuk itu.
            Sebagai bagian dari Aceh, sudah selayaknya kita memberikan dukungan yang positif atas terselenggaranya perhelatan akbar ini. Sekaligus kita jadikan momen ini sebagai langkah awal untuk move on. Biarlah semua kenangan buruk dan kepedihan yang mendalam tenggelam bersama dengan deburan ombak Samudera Hindia. Maafkan semua kekhilafan yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir ini, sebab semua orang berhak untuk kesempatan kedua. Manfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membangun Aceh dan masyarakatnya. Masyarakat Aceh harus bangkit dalam pembangunan. Aceh Pasti Bisa!!!

(Diterbitkan oleh Harian Waspada tanggal 26 Desember 2014) 
Waspada Online

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda terhadap tulisan ini dengan baik dan sopan. Saya berterima kasih atas semua kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Blog Archive