Wednesday, 15 April 2015

Syeh Lah Geunta: Maestro Seudati dari Aceh


Oleh: Imam Juaini



Foto: atjehcyber.net
Syeikh Lah Geunta bernama asli Abdullah bin Abdurahman dan lahir pada 11 Agustus 1945 di Bireuen, Aceh Jeumpa. Pendidikan terakhir ia tamatkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Bireuen. “Geunta” adalah ungkapan bahasa Aceh yang berarti guncang. Gelar ini mantan Gubernur Prof. Ali Hasjmy pada 1963 saat peresmian SMPN Coet Gapu Bireuen. Sejak kecil sudah menaruh perhatian pada dunia kesenian terutama Tari Seudati yang resmi ia dalami semenjak 1962 sampai sekarang. Menari Seudati suatu kesenangan dan kenikmatan tersendiri bagi Syeikh Lah. Hampir setiap malam, kecuali malam Jumat, ia berlatih bersama kawan-kawan di kampung. 

Sebab menari sudah merupakan bagian hidup, ia selalu bergerak sepenuh kesadaran tanpa mengharap imbalan dari orang lain. Meskipun terkadang orang tuanya kerap melarang dengan dalih belum cukup umur, karena malam hari adalah waktu anak-anak mengaji. Namun kekhawatiran orangtuanya bisa ia atasi dengan berlatih Seudati selepas pengajian. Tempat latihan Seudati sering di tempat-tempat terbuka seperti lapangan dan lorong pertokoan. Dan pada masa itu hampir semua kampung mengadakan permainan Seudati meskipun terjadi pro-kontra tentang hukum berkesenian Seudati di kalangan ulama atau Teungku Imuem. 

Dengan kelincahan dalam menguasai setiap gerak Seudati telah membawa Syeikh Lah melanglang untuk memenuhi undangan pertunjukan. Kemudian beberapa kelompok Seudati mengajaknya untuk bertanding dalam rangkaian Seudati Tunang. Dalam hal ini yang sering menjadi lawan tanding Syeikh Lah pada masa itu adalah Syekh Man Kunyet, Syeikh Ampon Ma’e, Syeikh Lah Bangguna dan Syeikh Bunget. Dan pada 1978 ia merebut Juara III Seudati Tunang merebut bintang Meuh kali pertama di Bireuen dan kali kedua pada 1979 di Langsa, Aceh Timur. Pada 1982, ia mulai melakukan pertunjukan Seudati ke hampir seluruh Aceh seiring kampanye Pemilu bersama H. Dhimurtala. Kemudian pada 1983, Syekh Lah Geunta sudah mulai menapak jauh ke luar Aceh untuk pertunjukan perdana di Taman Ismail Marzuki Jakarta. 

Selain Seudati, ia juga mampu menguasai beberapa bentuk kesenian lain seperti Ratoh, Rubbani dan Rapa’i Grempheng. Dengan kebolehan dalam dunia tari tradisi Aceh, pada tahun 1980 yaitu: Syekh Lah Geunta bersama rombongan berangkat mengikuti Festival ASEAN ke-5 di Hongkong. Kemudian pada 1989 ia mengikuti Dance Festival di Tokyo, Jepang, disambung pada 1991 menuju Festival Kebudayaan Indonesia Amerika Serikat (KIAS) di Amerika Serikat. Pada 1992, Syehk Lah bersama seniman Aceh lain mengikuti Pameran Expo di Sevilla, Spanyol. Pada 2006, Syekh Lah melakukan pertunjukan “Aceh Damai” di pantai timur Aceh secara serempak dengan tim Rapai Geleng Sanggar Seni Seulaweuet IAIN Arraniry dan penyanyi Rafly. Pada tahun 2010, ia membawa Seudati dalam Expo Internasional di Shanghai, Cina dan pada tahun 2013 kami mengikuti Workshop Intrasia (Intraksi Seni Indonesia) di Jakarta.

(Dikutip dari "Buku Saman di Aceh" terbitan BPNB Banda Aceh tahun 2014)

Tuesday, 14 April 2015

Membangun Potensi Masyarakat Pesisir dan Kaum Nelayan

Ditulis oleh: Nab Bahany AS

Sektor pembangunan bidang kelautan adalah sektor yang kurang mendapat perhatian serius dalam gerakan pembangunan masyarakat di Indonesia. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan selama hampir beberapa dasawarsa terakhir  lebih menaruh perhatian pada sektor daratan, seperti sektor pertanian melalui berbagai program pemberdayaan masyarakatnya.  Sedangkan  wilayah pesisir-kelautan yang sebagian besar masyarakat  menggantungkan hidup pada sumber daya laut sangat kurang mendapat perhatian program pemberdayaan masyarakatnya.
http://v-images2.antarafoto.com/g-ec/1281606624/belum-melaut-24.jpg
Foto: www.hukumonline.com

Kesenjangan perhatian terhadap pemberdayaan masyarakat pada  wilayah kelautan bukan tidak menimbulkan persoalan dalam pemerataan pembangunan di Indonesia. Di situ sisi, kesenjangan ini menunjukkan ketidakadiIan pemerintah dalam membangun masyarakat antara wilayah pesisir (nelayan) dengan masyarakat pedalaman (pertanian). Di sisi lainnya, akibat ketidakadilan itu telah menimbulkan dampak sosial yang amat kentara, terutama bagi kehidupan nelayan yang hingga kini masih dipandang sebagai masyarakat yang marginal. Gejala marginalisasi tersebut merupakan konsekuensi dan orientasi pembangunan yang tidak melihat ke laut dan lebih menyukai pembangunan daratan. Dengan demikian, masyarakat nelayan pun dengan sumber daya perikanannya belum dilihat sebagai potensi pembangunan nasional yang produktif. Kelalaian ini telah mengakibatkan timbulnya marjinalisasi masyarakat di wilayah pesisir (Kusnadi, 2002).

Meskipun sekarang perhatian terhadap sektor kelautan sudah mendapat perhatian serius dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan seiring dilaksanakannya otonomi daerah, namun akibat kelalaian pemerintah sebelumnya terhadap, sektor pembangunan kelautan ini, maka hingga sekarang masalah yang terkait dengan kehidupan masyarakat pesisir atau nelayan ini masih saja menjadi persoalan serius yang harus ditangani oleh pemerintah dengan serius pula. 

Seperti bagaimana pemerintah mengambil kebijakan menyelesaikan konflik-konflik internal antar kelompok nelayan yang sering terjadi karena perebutan daerah tangkapan atau pelanggaran-pelanggaran batas wilayah geografis. Belum lagi masalah pencurian ikan oleh kapal-­kapal asing (pukat harimau) yang sangat merugikan negara, serta masalah lingkungan laut, baik disebabkan oleh abrasi maupun pencemaran-pencemaran limbah industri yang tidak terkendali. Semua isu tersebut masih saja menjadi persoalan pembangunan sektor kelautan yang terkait dengan masyarakat nelayan yang harus mendapatkan perhatian pemerintah secara sungguh-­sungguh dalam merancang strategi pembangunan kedepan ini.

Ketertinggalan pembangunan di wilayah pesisir khususnya sektor kelautan memang terasa sekali terutama sejak pemerintahan Orde Baru, di mana sentuhan pembangunan sektor kelautan ini nyaris terabaikan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditempuh rezim Orde Baru dengan mengunakan kebijakan pembangunan secara bertahap yang kita kenal dengan Repelita I, II, III, IV dan V dalam kebijakan 25 tahun pembangunan jangka panjang pertama. Dalam kebijakan pembangunan tersebut hampir tidak ditemukan perhatian pemerintah pada pembangunan sektor pesisir-kelautan secara khusus. Akibatnya, nelayan menjadi warga negara yang sangat kurang menikmati kesejahteraan dari kue-kue pembangunan itu sendiri.

Ketika rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, segala bentuk Organisasi Rakyat (OR) secara sistematis dimarginalkan, dipinggirkan agar tak berdaya menghadapi pengaruh pusat kekuasaan yang dibangun bagai gurita raksasa yang siap mencengkeram setiap mangsanya ke mana-mana. Demikian pula halnya organisasi rakyat dalam masyarakat nelayan di Aceh yang dikenal dengan sebutan Panglima Laot. Meskipun peran Panglima Laot tidak terlalu kuat mengalami penekanan oleh pengaruh kekuasaan pemerintah Orde Baru, namun implikasinya telah menimbulkan dualisme pengendalian terhadap masyarakat nelayan di Aceh, yang satu diangkat oleh pemerintah sendiri, dan yang satu lagi dipilih dan diangkat oleh para nelayan sendiri. Bahkan bagi masyarakat nelayan di Aceh dalam beberapa hal cenderung mengakui Panglima Laot yang non formal dibandingkan dengan Panglima Laot yang diangkat dan di SK-kan pemenntah (Peureudee, 2002: volume 2).

Jadi, kalaupun pemerintah kemudian ikut melirik wilayah pesisir sebagai wujud perhatiannya terhadap nelayan, seperti mengangkat Panglima Laot, tampaknya kebijakan tersebut berlawanan dengan keinginan masyarakat nelayan itu sendiri. Sebab dari kasus-kasus yang terjadi pada nelayan di Aceh misalnya, ternyata masyarakat nelayan di daerah ini cenderung lebih mempercayai Panglima Laot-nya secara adat daripada Panglima Laot yang di SK-kan oleh pemerintah. Tentang mengapa, nelayan di Aceh masih sulit menerima Panglima Laot yang diangkat oleh pemerintah ini tampaknya diperlukan sebuah studi khusus untuk memperoleh jawaban konkrit dari masyarakat nelayan itu sendiri. Studi ini penting dilakukan agar pemerintah dapat memperoleh gambaran bagaimana seharusnya memberdayakan nelayan di wilayah Aceh.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (PPIIS) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tahun 1980 hingga tahun 1990 di beberapa kawasan pantai Aceh, menunjukkan bahwa peranan Panglima Laot sebagai organisasi nelayan sangat beragam, sesuai dengan wilayahnya masing-­masing. Di daerah pantai Telaga Tujoh Aceh Timur misalnya,  Panglima Laot-nya sangat berpengaruh dan berwibawa. Pengaruh dan wibawanya dalam mengatur pola interaksi budaya masyarakat nelayan di daerahnya bahkan melebihi pengaruh aparat pemerintahan seperti Kepala Desa atau Camat.

Sementara di pantai Pasi Lhok Kabupaten Pidie, sejak masuknya pengaruh pemerintah lewat partai politik tertentu, terutama sejak pemerintahan Orde Baru, peran dan fungsi Panglima Laot nyaris ditinggalkan kaum nelayan. Ini disebabkan karena Panglima Laot di daerah itu dinilai tidak lagi mewakili aspirasi para nelayan. Panglima Laot-nya sudah terpengaruh dengan bujuk rayu partai politik yang memiliki kepentingan untuk meraih kemenangan dalarn pemilihan umum.

Kekacauan fungsi dan peran Panglima Laot akibat kesalahan kebijakan pemerintah juga terjadi di Aceh Besar. Di wilayah ini menurut hasil penelitian PPIIS Unsyiah terjadi dualisme kepemimpinan Panglima Laot, yaitu antara Panglima Laot yang diangkat oleh nelayan dengan Panglima Laot yang di SK-kan pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan. Dengan adanya dualisme Panglima Laot ini telah menimbulkan konflik dalam masyarakat nelayan di wilayah ini. Sebagian nelayan menyetujui adanya Panglima Laot yang disukturkan pemerintah mulai dari tingkat Kabupaten/Kota hingga tingkat Provinsi, sebagian lagi menolak adanya struktur Panglima Laot seperti itu. Mereka menilai peran dan fungsl Panglima Laot yang di SK-kan  pemerintah tidak ubahnya sepertl peran organisasi politik dan itu sangat bertentangan dengan sistem hokum adat dan tradisi nelayan di Aceh.

Kasus-kasus tersebut di atas jelas menggambarkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan  (masyarakat pesisir-kelautan) yang diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengabaikan aspirasi dan realitas yang berkembang di dalam masyarakatnya. Akibatnya banyak proyek-proyek pemberdayaan masyarakat nelayan dan pesisir yang salah sasaran dan sia-sia. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pengalaman aparat pemerintah dalam bidang adat istiadat kelautan masyarakat Aceh dalam melakukan pemberdayaan masyarakat nelayan. Proyek-­proyek pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) banyak yang dilakukan asal jadi dan tidak berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat di wilayah pesisir itu sendiri.

Di sini lagi-lagi pemerintah harus mengkaji lebih jauh kebijakan pembangunan untuk masyarakat pesisir khususnya nelayan yang sudah ditempuh selama ini, sehingga masyarakat pesisir tidak merasa diabaikan. Barang kali dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji kembali bagaimana kedudukan Panglima Laot menurut hokum adat di masing-masing daerah. Untuk Aceh, kalau kedudukan Panglima Laot ini ingin diformalkan, UU No. 44/1999 dan UU No. 16/2000, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya mengakui keberadaan Panglima Laot di Aceh hendaknya dapat dijadikan sebagai rujukan. Ketiga UU tersebut membuka ruang untuk diaktualisasikan kembali lembaga adat Panglima Laot sesuai dengan peran dan fungsi yang diharapkan oleh masyarakat nelayan.

Sebagaimana telah disinggung di atas, masalah kemiskinan, keterbelakangan dan kesulitan hidup lainnya merupakan masalah yang masih krusial yang dihadapi komunitas nelayan di Indonesia, terutama nelayan-nelayan kecil yang masih menggunakan peralatan tangkap tradisional. Banyak faktor yang membuat nelayan menjadi komunitas yang lemah dan serba kekurangan dibandingkan masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman agraris (pertanian) dan perkotaan. Di antara faktor yang sangat signifikan terhadap ketidakberdayaan masyarakat nelayan adalah sistem budaya yang dibangun dalam kebijakan pembangunan itu tidak menghargai komunitas masyarakat nelayan. Sehingga komunitas nelayan menjadi komunitas yang secara kultural dipandang sangat rendah dalam segala aspek sosialnya. Dari sudut pandang ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, mereka dianggap sebagai komunitas masyarakat yang tidak memiliki kemampuan terhadap semua itu. Pandangan tersebut secara kultural telah menjadi opini publik.

Ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat nelayan ini dapat di lihat dari kurangnya perhatian dan kepedulian yang diberikan kepada mereka selama ini, termasuk oleh pemerintah sendiri. Perhatian dan kepedulian yang serius terhadap masyarakat nelayan ini  justru datang dari lembaga-­lembaga independen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Misalnya   di Aceh, dulu Yayasan Pusat Gerakan Atvokasi Rakyat (PUGAR) adalah salah satu LSM  yang konsisten dan secara khusus melakukan pemberdayaan komunitas nelayan di Aceh, Yayasan ini pernah melakukan beberapa program dan kegiatan-kegiatan yang berupaya mengadvokasi kasus-kasus nelayan dan sumberdaya masyarakat pesisir dan kelautan yang menjadi sumber  penghidupannya. Salah satu program yang pernah dilakukan PUGAR adalah pemberdayaan komunitas nelayan di beberapa desa pantai di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dimana dalam advokasi tersebut terungkap banyak kasus-kasus pembangunan pemberdayaan yang dilakukan tidak langsung menyentuh pada pemberdayaan masyarakat nelayan itu sendiri.

Ketidakberpihakan terhadap nelayan juga dapat dilihat dari apa yang digambarkan (Kusnadi, 2002) dalam tinjauannya terhadap hak ulayat laut sebagai suatu hak masyarakat adat di wilayah pesisir. Para ahli antropologi maritim bersepakat bahwa praktek-praktek hak ulayat laut merupakan strategi pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelautan yang bisa menjamin kelangsungan hidup ekonomi masyarakat di wilayah pesisir dengan harus menjaga kelestarian sumberdaya alamnya. Namur dalam praktek-praktek kemudian, hak ulayat laut ini telah dilanggar akibat cara pandang terhadap sumber daya perikanan ini sebagai milikbersama.

Selama masa Orde Baru, hak ulayat laut masyarakat secara umum diabaikan dan ditindas oleh negara dalam rangka mengembangkan sentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang bersifat monopolis. Dengan dominasi kebijakan demikian, dikembangkan pandangan  bahwa seolah-olah pranata­pranata tradisional merupakan "rintangan" pembangunan yang dapat menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi. Penghancuran budaya dengan berbagai kebijakan regulasi negara itu berarti sekaligus menghancurkan pula ekonomi masyarakat, khususnya ekonomi komunitas nelayan, secara ekonomis dan politis hingga menempatkan masyarakat itu pada posisi marginal yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya kepada peraturan dan kebijakan negara (Kusnadi, 2002:125).

Meskipun di era reformasi ini telah terbuka kesempatan bagi masyarakat adat untuk melakukan reposisi terhadap negara dengan mengembangkan seluruh potensi dan strategi yang dimiliki dalam pengelolaan sumber daya alam, namun kebijakan pembangunan Orde Baru yang menempatkan sumber daya alam sebagai objek semata yang harus dieksploitasi secara optimal hingga saat ini  masih saja terasa dominan. Selain itu, kebijakan pembangunan Orde Baru yang lebih berorientasi ke daratan dan tidak memihak pada kelautan menyebabkan masyarakat (publik) menjadi tidak berpihak terhadap sumber daya kelautan dan masyarakat di wilayah-wilayah pesisir yang mengandalkan laut sebagai sumber penghidupannya.

Lemahnya keberpihakan kebijakan pembangunan terhadap sumber daya laut juga telah mengakibatkan rendahnya kepedulian publik untuk ikut serta menjaga kelestarian hayati yang terkandung di dalamnya. Malah yang terdadi adalah penekanan-penekanan terhadap komunitas nelayan dengan pengoperasian alat tangkap modern (pukat harimau) yang jelas-jelas melanggar hukum, tidak hanya hukum adat tetapi juga hukum negara. Penggunaan alat tangkap yang merusak itu terus berlangsung dan mendapatkan perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan dengan menakut-nakuti para nelayan tradisional.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat pesisir yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan, selain disebabkan kesalahan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi ke daratan selama puluhan tahun belakangan ini, juga ada pengaruhnya dengan pandangan publik secara kultural bahwa komunitas masyarakat yang mendiami wilayah pesisir adalah komunitas masyarakat yang memiliki kekurangan dalam segala hal, dibandingkan dengan masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan dan pedalaman yang menunut pandangan publik agak lebih maju dalam berbagai bentuk interaksi sosial dan budayanya.

Karena itu, untuk mengubah opini publik dari ketidak berpihakan dan penafiannya terhadap, potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat pesisir (nelayan) harus lebih dulu dikembangkan konsep-­konsep pembangunan yang terarah dan  lebih berpihak pada masyarakat pesisir ini. Dengan terarahnya kebijakan pembangunan pada masyarakat pesisir ini, perhatian publik juga akan ikut berpihak. Dengan demikian, potensi dan sumber daya ekonomi masyarakat nelayan ini akan mampu mengangkat kehidupan masyarakat pesisir yang selama ini terpinggirkan.


(Disampaikan pada Diskusi Kelompok Terfokus: Dampak Potensi Kelautan Terhadap Strata Sosial Masyarakat Nelayan di Aceh Besar tanggal 13 April 2015)

Friday, 10 April 2015

REFLEKSI 10 TAHUN TSUNAMI DI ACEH

Ditulis oleh: Dharma Kelana Putra


http://www.acehkita.com/wp-content/uploads/2014/12/Logo.jpg
         Beberapa hari lagi, tepat sepuluh tahun sudah bencana dahsyat tsunami menghantam bumi serambi mekkah. Sungguh peristiwa yang sangat pedih dan memilukan, tetapi musibah itu tidak dapat dihindari. Kemakmuran yang sudah dibangun selama puluhan tahun hancur dengan seketika. Aceh terluka, seluruh rakyat Indonesia berduka, seluruh dunia pun turut menunjukkan belasungkawa.
            Musibah itu terjadi tanggal 26 Desember 2004, diawali dengan sebuah gempa berkekuatan 9 skala richter disusul ombak besar yang menyapu sebagian daratan Aceh dan Sumatera Utara. Pusat gempa terletak di pesisir Barat Sumatera, tepatnya 160 km di sebelah utara Pulau Simeulue dengan kedalaman 30 kilometer di bawah permukaan laut. Daya hancurnya bahkan dirasakan pula oleh negara-negara lainnya di benua Asia. Kekuatan gempa itu merusak bangunan dan berbagai fasilitas umum, sementara ombak besarnya menyapu bersih daratan yang dilaluinya tanpa pandang bulu. Kombinasi antara kecepatan air laut dan serpihan material menciptakan daya hancur yang luar biasa. Listrik padam, komunikasi terputus, puluhan ribu orang tewas seketika, mereka yang tersisa pun tak bisa berbuat apa-apa.
            Sulit bagi Aceh untuk kembali bangkit dari keterpurukan pada waktu itu, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak semua itu dapat diwujudkan. Satu per satu, berbagai program pembangunan baik fisik maupun mental dilakukan untuk membangun kembali Aceh. Melalui sebuah lembaga yang bernama Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, pembangunan Aceh pun dimulai.
Selama proses itu, beredar wacana diberbagai media yang mengatakan bahwa lima tahun masa bakti BRR berlalu dengan begitu saja sampai ia dibubarkan. Padahal, pembubaran BRR secara simbolis menandakan bahwa Aceh sudah bisa bangkit dari keterpurukannya. Benarkah demikian? Masih belum lekang dari ingatan, bahwa pembubaran BRR mendapatkan rapor merah dari masyarakat Aceh karena meninggalkan berbagai persoalan program pembangunan yang belum selesai.
Selentingan kabar menyebar dan menyuarakan korupsi yang terjadi di sana-sini, penyalahgunaan bantuan oleh beberapa oknum rekanan, munculnya proyek siluman, bantuan yang tidak tepat sasaran, serta berbagai polemik lainnya. Banyak pihak yang mengatakan bahwa secara kuantitatif pembangunan berhasil, tetapi secara kualitatif masih belum. Padahal dana yang dikucurkan BRR dari hasil sumbangan negara-negara lain jumlahnya tidak sedikit. Jika dana tersebut dimanfaatkan dengan benar, sudah pasti kesejahteraan fisik dan sosial dapat diwujudkan.
            Salah seorang teman saya bahkan pernah mengatakan lelucon yang menurut saya tidak lucu, “bagaimana mungkin BRR bisa melepas proyek besar kepada orang-orang yang keringat dingin ketika menghadapi persoalan persamaan regresi linear?”. Apa yang salah dari ini?
Tidak ada yang salah menurut saya. Tindakan BRR yang melibatkan masyarakat sekitar untuk membangun sendiri daerahnya sudah sangat ideal dan sebelumnya tidak pernah diimplementasikan pada masa orde baru (top-down). Tindakan ini didasarkan atas konsep pemberdayaan masyarakat dengan asumsi bahwa mereka yang dilibatkan memiliki keterikatan emosional dengan daerahnya dan mereka dianggap paling tahu apa yang mereka butuhkan, sehingga hasil pekerjaan yang akan mereka lakukan nantinya lebih tepat sasaran jika dibandingkan dengan hasil kerja relawan yang didatangkan dari luar Aceh.
            Kesalahan yang terjadi mungkin merupakan sebuah kekhilafan. Wajar saja, setiap manusia tidak luput dari khilaf. Khilaf karena tergiur uang yang jumlahnya milyaran, atau khilaf karena sebab musabab lain. Terbukti, ada yang semakin kaya dan tidak sedikit pula yang mendadak kaya karena khilaf yang dilakukannya. Kenikmatan yang ditimbulkan khilaf ini membuat orang merasa nyaman dan cenderung mengulangi khilafnya. 
Satu hal yang perlu disadari bahwa khilaf itu tidak boleh sering-sering terjadi, sebab khilaf tersebut berdampak pada terhambatnya pembangunan kesejahteraan masyarakat. Khilaf yang dilakukan secara terus-menerus akan menguntungkan secara personal di satu sisi, tetapi di sisi lain menjerumuskan masyarakat tanpa mereka sadari. Semoga khilaf ini dimaafkan oleh seluruh masyarakat mereka di dunia dan akhirat.
Sedikit contoh tentang hasil dari sebuah ke-khilafan. Lihat saja rumah bantuan tsunami di berbagai kawasan, banyak yang kualitasnya tidak sesuai dengan standar kelayakan rumah sederhana. Pondasinya lemah, dindingnya seperti tidak bertulang, catnya sudah terkelupas, kusennya retak ketika dipasangi jerjak. Tidak sedikit masyarakat yang memugar kembali rumah bantuan yang mereka terima agar lebih layak huni. Saat ini, deretan rumah bantuan tersebut lebih mirip dengan kawasan permukiman kumuh.
            Kita lihat juga fasilitas ruangan pembeku hasil sumbangan rakyat Jepang di Desa Meunasah Keudee, Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Salah satu bentuk pengelolaan bantuan yang tidak tepat sasaran. Kondisinya saat ini benar-benar terbengkalai dan sangat mengenaskan. Bangunannya berbau pesing, dindingnya sudah keropos karena tak terawat, kompresornya mungkin sudah tidak dapat berfungsi dengan baik. Lima tahun lalu, otoritas setempat mengatakan bahwa fasilitas ini tidak dapat digunakan karena pasokan listrik PLN tidak memadai untuk pengoperasiannya. Sampai lima tahun kemudian, mereka pasrah saja dengan keadaan dan fasilitas itu pun hancur dengan percuma dengan alasan tidak ada dana untuk pemeliharaannya.
Setiap orang yang melihat kondisi ini pasti merasa miris. Bayangkan jika anda memberikan sepeda motor yang anda miliki kepada orang lain sebagai bentuk bantuan. Lalu beberapa bulan kemudian anda melihat sepeda motor tersebut sudah tidak layak jalan dan tidak terawat. Apa yang anda rasakan? Tentu anda akan berpikir ulang dalam memberikan bantuan kepada orang yang sama untuk kedua kalinya.
Coba bayangkan apa yang dirasakan oleh perwakilan negara-negara donor ketika melihat hasil sumbangan mereka tidak dikelola dengan baik oleh lembaga yang dibentuk dan dipercayai oleh pemerintah Indonesia. Sudah pasti dampaknya adalah menghilangnya trust terhadap pemerintah dan bangsa, khususnya pemerintahan Aceh sendiri. Bisa jadi dampaknya adalah menurunnya minat investor asing menanamkan modalnya di Aceh atau bahkan lebih buruk lagi. Jika demikian, maka pelaksanaan program percepatan pembangunan Aceh yang dicanangkan oleh Bapak Gubernur secara tidak langsung akan terhambat. Semuanya berawal dari sebuah ke-khilafan, tapi haruskah kita turut tenggelam di dalamnya? Tentu tidak.
Banyak hal positif yang bisa dilakukan, seperti ikut berpartisipasi dalam berbagai beasiswa pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah, aktif dalam program pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan bermanfaat lainnya. Jika masyarakat Aceh butuh satu momentum untuk menyatukan visi tentang pembangunan yang ideal, maka momentum itu berpuncak pada sebuah perhelatan besar yang bernama Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh. Peringatan ini akan segera dilaksanakan sebagai bentuk refleksi, apresiasi, dan kebangkitan masyarakat Aceh. Meskipun akan diadakan beberapa hari lagi, namun euforia perhelatan ini sudah terlihat dimana-mana. Mulai dari spanduk, baligho, hingga siaran radio. Berbagai instansi pemerintahan terlibat di dalamnya. Mulai dari jajaran Pemerintah Daerah, UPTD Kementrian, Kepolisian, Militer, Pers, Wirausaha, Seniman, bahkan Pedagang Kaki Lima.
Menurut informasi, perhelatan ini akan dihadiri oleh lima ribu orang perwakilan dari berbagai negara dan organisasi internasional yang diundang oleh pemerintah Aceh. Jika kita beruntung, perhelatan ini akan dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo. Dalam perhelatan ini akan dilakukan kegiatan seperti tausyiah dan doa bersama Ustadz Ali Jaber, upacara, pameran, parade film dokumenter, serta lari marathon 10 km. Secara simbolis perhelatan besar ini merupakan upaya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Aceh telah bangkit, dan segenap rakyat Aceh berterima kasih untuk itu.
            Sebagai bagian dari Aceh, sudah selayaknya kita memberikan dukungan yang positif atas terselenggaranya perhelatan akbar ini. Sekaligus kita jadikan momen ini sebagai langkah awal untuk move on. Biarlah semua kenangan buruk dan kepedihan yang mendalam tenggelam bersama dengan deburan ombak Samudera Hindia. Maafkan semua kekhilafan yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir ini, sebab semua orang berhak untuk kesempatan kedua. Manfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membangun Aceh dan masyarakatnya. Masyarakat Aceh harus bangkit dalam pembangunan. Aceh Pasti Bisa!!!

(Diterbitkan oleh Harian Waspada tanggal 26 Desember 2014) 
Waspada Online

Dôkarim Sang Sastrawan dari Aceh

Ditulis oleh: Imam Juaini
Dôkarim alias Teungku Abdoel Karim berasal dari kampung Keutapang Dua atau Lam Teungoh, Wilayah VI Sagoe XXV Mukim Peukan Bada. Ia lahir sekitar 1844 atau sebelum Perang Aceh melawan kolonial Belanda meletus pada 26 Maret 1873 dan meninggal sekitar 1887 atau sebelum Sultan ‘Alaidin Muhammad Daudsyah ditawan Belanda pada 1903. Ia seorang penyair, penari dan pewarta perang, Mengandalkan ingatan yang brilian, ia selalu merekam dan menambah setiap bait-bait sajak sesuai dengan berita baru dari medan laga yang disampaikan oleh saksi mata. Gubahan sajaknya terus dimodifikasi sendiri dan dilantunkan dalam setiap pertunjukan tari. Ia gemar menambah episode baru karena merasa belum selesai benar dalam perkembangan situasi mutakhir sehingga akhirnya terkumpul dalam karya monumentalnya; Hikayat Prang Gompeuni. Di samping seorang syeikh Seudati, ia juga orator, dan ahli pantun (seumapa) dalam setiap pesta perkawinan. Keindahan, juga pilihan diksi yang tepat ditambah pengetahuan tentang pantun, hadih-maja dan beragam prosa lama, menjadikannya pesohor yang diundang dalam setiap kegiatan masyarakat.

Blog Archive