Ditulis oleh: Nab Bahany AS
Sektor pembangunan bidang kelautan adalah sektor yang kurang mendapat perhatian serius dalam gerakan pembangunan masyarakat di Indonesia. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan selama hampir beberapa
dasawarsa terakhir lebih menaruh
perhatian pada sektor daratan, seperti sektor pertanian melalui berbagai
program pemberdayaan masyarakatnya.
Sedangkan wilayah pesisir-kelautan
yang sebagian besar masyarakat menggantungkan
hidup pada sumber daya laut sangat kurang mendapat perhatian program
pemberdayaan masyarakatnya.
 |
Foto: www.hukumonline.com |
Kesenjangan perhatian terhadap pemberdayaan masyarakat pada wilayah kelautan bukan tidak menimbulkan
persoalan dalam pemerataan pembangunan di Indonesia. Di situ sisi, kesenjangan
ini menunjukkan ketidakadiIan pemerintah dalam membangun masyarakat antara
wilayah pesisir (nelayan) dengan masyarakat pedalaman (pertanian). Di sisi
lainnya, akibat ketidakadilan itu telah menimbulkan dampak sosial yang amat
kentara, terutama bagi kehidupan nelayan yang hingga kini masih dipandang
sebagai masyarakat yang marginal. Gejala marginalisasi tersebut merupakan
konsekuensi dan orientasi pembangunan yang tidak melihat ke laut dan lebih menyukai
pembangunan daratan. Dengan demikian, masyarakat nelayan pun dengan sumber daya
perikanannya belum dilihat sebagai potensi pembangunan nasional yang produktif. Kelalaian ini telah mengakibatkan timbulnya marjinalisasi
masyarakat di wilayah pesisir (Kusnadi, 2002).
Meskipun sekarang perhatian terhadap sektor kelautan sudah mendapat
perhatian serius dengan terbentuknya Departemen
Kelautan dan Perikanan seiring
dilaksanakannya otonomi daerah, namun akibat kelalaian pemerintah sebelumnya
terhadap, sektor pembangunan kelautan ini, maka hingga sekarang masalah yang terkait dengan kehidupan masyarakat pesisir atau nelayan
ini masih saja menjadi persoalan serius yang harus ditangani oleh pemerintah
dengan serius pula.
Seperti bagaimana pemerintah mengambil kebijakan menyelesaikan
konflik-konflik internal antar kelompok nelayan yang sering terjadi karena
perebutan daerah tangkapan atau pelanggaran-pelanggaran batas wilayah
geografis. Belum lagi masalah pencurian ikan oleh kapal-kapal asing (pukat
harimau) yang sangat merugikan negara, serta
masalah lingkungan laut, baik disebabkan oleh abrasi maupun
pencemaran-pencemaran limbah industri yang tidak terkendali. Semua isu tersebut
masih saja menjadi persoalan pembangunan sektor kelautan yang terkait dengan
masyarakat nelayan yang harus mendapatkan perhatian pemerintah secara sungguh-sungguh dalam merancang strategi pembangunan kedepan ini.
Ketertinggalan pembangunan di wilayah pesisir khususnya sektor kelautan
memang terasa sekali terutama sejak pemerintahan Orde Baru, di mana sentuhan pembangunan sektor kelautan ini nyaris terabaikan. Hal itu
dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditempuh rezim Orde
Baru dengan mengunakan kebijakan pembangunan secara bertahap yang kita kenal
dengan Repelita I, II, III, IV dan V dalam kebijakan 25 tahun pembangunan
jangka panjang pertama. Dalam kebijakan pembangunan tersebut hampir tidak
ditemukan perhatian pemerintah pada pembangunan sektor pesisir-kelautan secara
khusus. Akibatnya, nelayan menjadi warga negara yang sangat kurang menikmati
kesejahteraan dari kue-kue pembangunan itu sendiri.
Ketika rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, segala bentuk
Organisasi Rakyat (OR) secara sistematis dimarginalkan, dipinggirkan agar tak
berdaya menghadapi pengaruh pusat kekuasaan yang dibangun bagai gurita raksasa
yang siap mencengkeram setiap mangsanya ke mana-mana. Demikian pula halnya organisasi
rakyat dalam masyarakat nelayan di Aceh yang dikenal dengan sebutan Panglima
Laot. Meskipun peran Panglima Laot tidak terlalu kuat
mengalami penekanan oleh pengaruh kekuasaan pemerintah Orde Baru, namun
implikasinya telah menimbulkan dualisme pengendalian terhadap masyarakat
nelayan di Aceh, yang satu diangkat oleh pemerintah sendiri, dan yang satu lagi
dipilih dan diangkat oleh para nelayan sendiri. Bahkan bagi masyarakat nelayan
di Aceh dalam beberapa hal cenderung mengakui Panglima Laot yang non formal dibandingkan dengan Panglima
Laot yang diangkat dan di
SK-kan pemenntah (Peureudee, 2002: volume
2).
Jadi, kalaupun pemerintah kemudian ikut melirik
wilayah pesisir sebagai wujud perhatiannya terhadap nelayan, seperti mengangkat
Panglima Laot, tampaknya kebijakan
tersebut berlawanan dengan keinginan masyarakat nelayan itu sendiri. Sebab dari kasus-kasus yang terjadi pada
nelayan di Aceh misalnya, ternyata masyarakat nelayan di daerah ini cenderung
lebih mempercayai Panglima Laot-nya
secara adat daripada Panglima Laot
yang di SK-kan oleh pemerintah. Tentang mengapa, nelayan di Aceh masih sulit
menerima Panglima Laot yang diangkat
oleh pemerintah ini tampaknya diperlukan sebuah studi khusus untuk memperoleh
jawaban konkrit dari masyarakat nelayan itu sendiri. Studi ini penting
dilakukan agar pemerintah dapat memperoleh
gambaran bagaimana seharusnya memberdayakan nelayan di wilayah Aceh.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu
Sosial (PPIIS) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tahun 1980 hingga tahun
1990 di beberapa kawasan pantai Aceh, menunjukkan bahwa peranan Panglima Laot sebagai organisasi nelayan
sangat beragam, sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Di daerah pantai
Telaga Tujoh Aceh Timur misalnya, Panglima Laot-nya sangat berpengaruh dan berwibawa. Pengaruh dan wibawanya dalam mengatur pola interaksi
budaya masyarakat nelayan di daerahnya bahkan melebihi pengaruh aparat
pemerintahan seperti Kepala Desa atau Camat.
Sementara di pantai Pasi Lhok Kabupaten Pidie, sejak masuknya pengaruh
pemerintah lewat partai politik tertentu, terutama sejak pemerintahan Orde
Baru, peran dan fungsi Panglima Laot
nyaris ditinggalkan kaum nelayan. Ini disebabkan karena Panglima Laot di daerah
itu dinilai tidak lagi mewakili aspirasi para nelayan. Panglima Laot-nya sudah terpengaruh dengan bujuk rayu partai
politik yang memiliki kepentingan untuk meraih kemenangan dalarn pemilihan
umum.
Kekacauan fungsi dan peran Panglima
Laot akibat kesalahan kebijakan pemerintah juga terjadi di Aceh Besar. Di wilayah ini menurut hasil penelitian
PPIIS Unsyiah terjadi dualisme kepemimpinan Panglima
Laot, yaitu antara Panglima Laot
yang diangkat oleh nelayan dengan Panglima
Laot yang di SK-kan pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan. Dengan
adanya dualisme Panglima Laot ini
telah menimbulkan konflik dalam masyarakat nelayan di wilayah ini. Sebagian
nelayan menyetujui adanya Panglima Laot yang disukturkan pemerintah mulai dari
tingkat Kabupaten/Kota hingga tingkat Provinsi, sebagian lagi menolak
adanya struktur Panglima Laot seperti
itu. Mereka menilai peran dan fungsl Panglima Laot yang di SK-kan pemerintah tidak ubahnya sepertl peran
organisasi politik dan itu sangat bertentangan dengan sistem hokum adat dan
tradisi nelayan di Aceh.
Kasus-kasus tersebut di atas jelas
menggambarkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan (masyarakat pesisir-kelautan) yang diwujudkan
melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengabaikan aspirasi dan realitas
yang berkembang di dalam masyarakatnya. Akibatnya banyak proyek-proyek
pemberdayaan masyarakat nelayan dan pesisir yang salah sasaran dan sia-sia. Hal
ini juga disebabkan oleh kurangnya pengalaman aparat pemerintah dalam bidang
adat istiadat kelautan masyarakat Aceh dalam melakukan pemberdayaan masyarakat
nelayan. Proyek-proyek pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) banyak yang
dilakukan asal jadi dan tidak berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat di
wilayah pesisir itu sendiri.
Di sini lagi-lagi pemerintah harus
mengkaji lebih jauh kebijakan pembangunan untuk masyarakat pesisir khususnya
nelayan yang sudah ditempuh selama ini, sehingga masyarakat pesisir tidak
merasa diabaikan. Barang kali dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji kembali
bagaimana kedudukan Panglima Laot
menurut hokum adat di masing-masing daerah. Untuk Aceh, kalau kedudukan Panglima Laot ini
ingin diformalkan, UU No. 44/1999 dan UU No. 16/2000, dan UU
No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya mengakui
keberadaan Panglima Laot di Aceh hendaknya
dapat dijadikan sebagai rujukan. Ketiga UU tersebut membuka ruang untuk diaktualisasikan
kembali lembaga adat Panglima Laot
sesuai dengan peran dan fungsi yang diharapkan oleh masyarakat nelayan.
Sebagaimana telah disinggung di
atas, masalah kemiskinan, keterbelakangan dan kesulitan hidup lainnya merupakan
masalah yang masih krusial yang dihadapi komunitas nelayan di Indonesia,
terutama nelayan-nelayan kecil yang masih menggunakan peralatan tangkap
tradisional. Banyak faktor yang membuat nelayan menjadi komunitas yang lemah
dan serba kekurangan dibandingkan masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman
agraris (pertanian) dan perkotaan. Di antara faktor yang sangat signifikan
terhadap ketidakberdayaan masyarakat nelayan adalah sistem budaya yang dibangun
dalam kebijakan pembangunan itu tidak menghargai komunitas masyarakat nelayan.
Sehingga komunitas nelayan menjadi komunitas yang secara kultural dipandang
sangat rendah dalam segala aspek sosialnya. Dari sudut pandang ekonomi,
pendidikan, hukum, dan politik, mereka dianggap sebagai komunitas masyarakat
yang tidak memiliki kemampuan terhadap semua itu. Pandangan tersebut secara
kultural telah menjadi opini publik.
Ketidak berpihakan publik terhadap
masyarakat nelayan ini dapat di lihat dari kurangnya perhatian dan kepedulian
yang diberikan kepada mereka selama ini, termasuk oleh pemerintah sendiri.
Perhatian dan kepedulian yang serius terhadap masyarakat nelayan ini justru datang dari lembaga-lembaga independen
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Misalnya di Aceh, dulu Yayasan Pusat Gerakan Atvokasi
Rakyat (PUGAR) adalah salah satu LSM yang
konsisten dan
secara khusus melakukan pemberdayaan komunitas nelayan di Aceh, Yayasan ini
pernah melakukan beberapa program dan kegiatan-kegiatan yang berupaya
mengadvokasi kasus-kasus nelayan dan sumberdaya masyarakat pesisir dan kelautan
yang menjadi sumber penghidupannya.
Salah satu program yang pernah dilakukan PUGAR adalah pemberdayaan komunitas
nelayan di beberapa desa pantai di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dimana dalam
advokasi tersebut terungkap banyak kasus-kasus pembangunan pemberdayaan yang
dilakukan tidak langsung menyentuh pada pemberdayaan masyarakat nelayan itu
sendiri.
Ketidakberpihakan terhadap nelayan
juga dapat dilihat dari apa yang digambarkan (Kusnadi, 2002) dalam tinjauannya
terhadap hak ulayat laut sebagai suatu hak masyarakat adat di wilayah pesisir.
Para ahli antropologi maritim bersepakat bahwa praktek-praktek hak ulayat laut
merupakan strategi pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelautan yang bisa
menjamin kelangsungan hidup ekonomi masyarakat di wilayah pesisir dengan harus
menjaga kelestarian sumberdaya alamnya. Namur dalam praktek-praktek kemudian,
hak ulayat laut ini telah dilanggar akibat cara pandang terhadap sumber daya
perikanan ini sebagai milikbersama.
Selama masa Orde Baru, hak ulayat
laut masyarakat secara umum diabaikan dan ditindas oleh negara dalam rangka
mengembangkan sentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang bersifat monopolis.
Dengan dominasi kebijakan demikian, dikembangkan pandangan bahwa seolah-olah pranatapranata tradisional
merupakan "rintangan" pembangunan yang dapat menghambat tercapainya
target pertumbuhan ekonomi. Penghancuran budaya dengan berbagai kebijakan
regulasi negara itu berarti sekaligus menghancurkan pula ekonomi masyarakat, khususnya
ekonomi komunitas nelayan, secara ekonomis dan politis hingga menempatkan
masyarakat itu pada posisi marginal yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya
kepada peraturan dan kebijakan negara (Kusnadi, 2002:125).
Meskipun di era reformasi ini telah terbuka kesempatan bagi masyarakat
adat untuk melakukan reposisi terhadap negara dengan mengembangkan seluruh
potensi dan strategi yang dimiliki dalam pengelolaan sumber daya alam, namun
kebijakan pembangunan Orde Baru yang menempatkan sumber daya alam sebagai objek
semata yang harus dieksploitasi secara optimal hingga saat ini masih saja terasa dominan.
Selain itu, kebijakan pembangunan Orde Baru yang lebih berorientasi ke daratan
dan tidak memihak pada kelautan menyebabkan masyarakat (publik) menjadi tidak berpihak
terhadap sumber daya kelautan dan masyarakat di wilayah-wilayah pesisir yang
mengandalkan laut sebagai sumber penghidupannya.
Lemahnya keberpihakan kebijakan pembangunan terhadap sumber daya laut
juga telah mengakibatkan rendahnya kepedulian publik untuk ikut serta menjaga
kelestarian hayati yang terkandung di dalamnya. Malah yang terdadi adalah
penekanan-penekanan terhadap komunitas nelayan dengan pengoperasian alat
tangkap modern (pukat harimau) yang jelas-jelas melanggar hukum, tidak hanya
hukum adat tetapi juga hukum negara. Penggunaan alat tangkap yang merusak itu
terus berlangsung dan mendapatkan perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan
dengan menakut-nakuti para nelayan tradisional.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketidak berpihakan publik terhadap
masyarakat pesisir yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan, selain
disebabkan kesalahan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi ke daratan
selama puluhan tahun belakangan ini, juga ada pengaruhnya dengan pandangan
publik secara kultural bahwa komunitas masyarakat
yang mendiami wilayah pesisir adalah komunitas masyarakat yang memiliki
kekurangan dalam segala hal, dibandingkan dengan masyarakat yang mendiami
wilayah perkotaan dan pedalaman yang menunut pandangan publik
agak lebih maju dalam berbagai bentuk interaksi sosial dan budayanya.
Karena itu, untuk mengubah opini publik dari ketidak berpihakan dan
penafiannya terhadap, potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat
pesisir (nelayan) harus lebih dulu dikembangkan konsep-konsep pembangunan yang
terarah dan lebih berpihak pada
masyarakat pesisir ini. Dengan terarahnya kebijakan pembangunan pada masyarakat
pesisir ini, perhatian publik juga akan ikut berpihak. Dengan demikian, potensi
dan sumber daya ekonomi masyarakat nelayan ini akan mampu mengangkat kehidupan
masyarakat pesisir yang selama ini terpinggirkan.
(Disampaikan pada Diskusi Kelompok Terfokus: Dampak Potensi Kelautan Terhadap Strata Sosial Masyarakat Nelayan di Aceh Besar tanggal 13 April 2015)